Sudah menjadi Kodrat Allah Subhanahu Wa Ta'aala yang melekat pada seluruh ciptaan-Nya atau seluruh isi alam semesta selalu ada sebab - sebab yang menjadikan sesuatu itu ada, hal ini sebagai rujukan bagi manusia supaya memiliki kesadaran untuk selalu mencari keaslian atau asal muasal tiap - tiap sesuatu. Kenapa demikian, ini kembali pada sifat dasar manusia yang dikodratkan suka bertanya dan selalu menanyakan atas sesutau yang mengganjal dihati dan fikirannya. Itulah kelebihan yang Allah SWT telah berikan kepada manusia merupakan satu kelebihan yang jadi sebab manusia bisa menjadi apa saja yang dia niatkan, dia yakini, dan dia tekadkan.
Apa yang kita bayangkan belum tentu bahkan sering kali tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya, seringkali kita ditipu dan tertipu dengan angan – angan kita sendiri. Itulah gangguan dan penghalang terbesar manusia hingga terjebak dan terjerembab dalam lingkaran kesombongan, keangkuhan, kedengkian, dendam – kesumat, keirihatian, kehasudan, panjang mulut (fitnah – memfitnah / pengadu), kegedhen rumongso, dumeh, kaduk ati, dan segala sifat yang mengajak pada kerusakan sifat – sifat kemanusiaan.
Angan – angan dikodratkan hanya mampu menangkap apa yang ditangkap oleh pancaindra menjadikan dia tidak mampu manangkap makna tersirat dari tipa – tiap sesuatu, dia hanya berfungsi sebagai alat perekam dan penyimpan memori yang dialami manusia. Karena itu agama, kepercayaan, dan keyakian yang dimaknai dan difahami sebatas kemampuan akal semata (angan – angan) akan menjadi pemicu perseteruan dan permusuhan antar manusia.
Manusia yang memahami Agama didasari oleh angan – angan semata tidak akan memahami dan mengakui keberadaan ujud manusia yang terdiri dari berbagai unsur yang memiliki fungsi dan tugasnya masing – masing atau jati diri manusia yang sebenarnya. Seperti keberadaan unsur Cipto (Cipta), unsur Roso (rasa), unsur Rumongso (merasa), unsur Ngrasakne (merasakan), dan unsur Ngrumangsani (sadar diri / tahu diri), keberadaan unsur kemanusiaan tersebut telah menjadi dasar dan pilar Negara yaitu Pancasila.
Untuk menggambarkan kerja angan – angan saat dia melepas anaknya pergi kemudian mendengar berita kecelakaan dijalan angan2 akan bekerja yaitu dia berproses dengan amat cepat membuat pemikiran – pemikiran yang terkait dengan kondisi anaknya yang sedang menempuh perjalanan. Kemudian pemikiran – pemikiran atau gambaran yang diciptakan oleh angan – angan ditangkap oleh hati maka timbullah kecemasan dan kekhawatiran. Padahal apa yang digambarkan dan dibayangkan oleh apa yang diciptakan angan – angan jauh sekali dari kenyataan yang dialami sianak diperjalanan, dia baik – baik saja tidak menemui kendala apapun. Itulah contah kerja angan – angan bila dituruti dan diikuti hanya akan merusak fikiran dan hati.
Belum lagi kalo angan – angan menangkap hasil dari indra penciuman, kemudian indra pendengaran, indra penglihatan, dan indra perasa. Angan – angan system kerjanya selalu mengaitkan satu kejadian dengan kejadian lain atau satu sebab dengan sebab lain dan kesimpulan yang dibuatnya sering atas dasar kepantasan.
Padahal banyak kenyataan yang tidak pantas atau patut menurut akal (tidak masuk akal) justru itulah kenyataan yang sebenarnya terjadi yang tidak mungkin untuk diingkari dan dipungkiri. Angan – angan bersifat selalu membantah karena memiliki kecenderungan selalu ingin menang sendiri dan merasa paling pintar sendiri, itu sudah kodrat dari sanannya.
Kalo demikian keadaannya masihkah kita mau ditipu oleh angan – angan kita dalam memaknai dan memahami sebuah keyakinan, agama, dan kepercayaan. Dan masihkah kita mau ditipu tulisan – tulisan dalam bentuk buku dan kitab yang dihasilkan dari olah akal semata atau hasil kerja akal yang dipengaruhi angan - angan, dan masihkah gampang mempercai keterangan – keterangan para pakar akal semata yang selalu mengandalkan kehebatan angan – anganya dalam merangkai tulisan.
Kita manusia diciptakan dalam keadaan merdeka sejati dalam menentukan pilihan – pilihan hidup kita, manusia telah diberi perangkat kemanusian yang bisa digunakan untuk menggali potensi diri dan jati dirinya. Karena itu manusia diwajibkan membaca dan belajar kemudian bertanya untuk menemukan jawab dari ganjalan hati dan fikirannya. Siapapun tidak berhak mengebiri hak bertanya sesama manusia apalagi memasungnya dengan dalih apapun, karena manusia sudah diberi perangkat pengendali ketika dia berada dalam bahaya.
Sebagaimana adanya hari raya ‘idul fitri atau hari yang fitrah ini tidak terlepas dari keperluan dan kebutuhan manusia dalam rangka mengembalikan diri kejalur yang seharusnya sebagai manusia. Bersambung …………
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H