Lihat ke Halaman Asli

Kalijodo bukan Bendera Terakhir Ahok

Diperbarui: 23 Februari 2016   20:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ata Serani

SESUNGGUHNYA baru lima tahun terakhir dirasakan ada pemimpin di Jakarta ini. Dengan segala permohonan maaf, sejak Ali Sadikin melepaskan jabatan sebagai Gubernur DKI, Batavia ini terus saja terbenam. Terbenam dalam kemacetan, terbenam dalam banjir, terbenam dalam narkotika, terbenam dalam semarak pelacuran, dan terus terbenam dan terbenam.

Sejak pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama menang dalam pilkada DKI tahun 2012, denyut perubahan langsung terasa. Kawasan Tanah Abang Jakarta Pusat yang bertahun-tahun menjadi kawasan ‘tidak bertuan’, langsung ditumpas Jokowi-Ahok. Kawasan yang terkenal tidak bisa tertib bahkan dikuasai preman,langsung ditaklukkan. Tidak ada korban seperti yang dikuatirkan atau ditakut-takutkan.

Setelah Joko Widodo pindah ke Istana Negara lantaran terpilih menjadi Presiden, Ahok lebih leluasa mewujudkan mimpinya menjadikan Jakarta sebagai ibu kota negara yang modern, bersih, tanpa premanisme, tanpa banjir, tanpa kemacetan.

Sikap Ahok yang tegas menciutkan nyali para preman yang berpuluh tahun mendirikan kerajaan-kerajan kecil di tempat remang-remang untuk menangguk duit puluhan bahkan ratusan juta. Ahok pantang menyerah. Sekali langkah diayunkan, pantang dia beranjak surut.

Satu per satu kawasan kumuh dan daerah banjir dibenahi. Pusat transaksi narkoba dan pelacuran disikat. Kelab hiburan malam  digeledah bahkan ditutup.

Perumahan liar di sepanjang Kali Ciliwung dibongkar. Normalisasi Ciliwung terus dilakukan. Kampung Pulo yang berpuluh tahun menjadi pusat genangan banjir setiap musim hujan namun warganya selalu menolak pindah, digusur. Walau ada perlawanan warga, Ahok tak mundur. Polda Metro Jaya tak segan membantu karena yang dihuni adalah tanah negara dan warga sudah disediakan rumah susun yang manusiawi.

Ahok bagai mesin perang yang terus bergerak mencari musuh. Musuhnya adalah narkoba, pelacuran, kekumuhan pemukiman liar di atas tanah negara dan birokrasi yang tidak melayani. Dalam sekejap budaya birokrasi yang cenderung korup, dibenahi. Pejabat yang tidak mumpuni dicopot dan diganti. Pejabat yang suka minta upeti dibabat . Kini budaya melayani mulai terasa di kantor-kantor Pemprov DKI hingga sampai ke kantor kelurahan.

Telunjuknya kini mengarah ke Kalijodo sebuah kawasan remang-remang yang penuh transaksi seksual, minuman keras, judi dan preman, di Jakarta Barat-Utara. Dengan sekali mengarah, niatnya tuntas. Polda Metro Jaya serta Kodam Jaya siaga memberikan bantuan.

Kapolda Metro Jaya, Irjen Tito Karnavian menegaskan: Separatis di Papua saja dia hadapi, apalagi cuma preman di Kalijodo.  Itu dikatakannya menanggapi bahwa kawasan Kalijodo konon dihuni para preman dan mantan narapidana. Dan mantan Kapolda Papua itu pun turun langsung ke Kalijodo menyaksikan operasi pekat (penyakit masyarakat) yang dilakukan Polres Jakarta Barat di daerah hitam itu.

Warga Kalijodo termasuk pekerja seks komersial (PSK) dan preman sudah hengkang. Yang tinggal tercecer hanya buku catatan harian yang berisi gundah gulana para PSK. Kafe-kafe sudah dibongkar pemiliknya.  Salah satu pentolan Kalijodo, Daeng Aziz yang memiliki kafe terbesar Intan sudah ditetapkan sebagai tersangka kasus mucikari yang mempekerjakan PSK. Di kafe itu pula ditemukan anak panah dan minuman keras. Polisi memanggil Aziz guna diperiksa pada Rabu (24/2).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline