Lihat ke Halaman Asli

Membawa Golkar ke Tiang Gantung

Diperbarui: 8 Januari 2016   08:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh Ata Serani 

RAPAT Kosultasi Partai Golkar di Bali pada 4-5 Januari 2016 yang dihadiri seluruh DPD 1 Partai Golkar merekomendasikan delapan hal. Salah satunya (butir 6) berbunyi: Merekomendasikan kepada DPP Partai Golkar agar mengawali langkah-langkah politik dan hukum supaya Kemenhumkam mengesahkan hasil Munas Bali.

Rekomendasi itu, menurut Ketua Dewan Pertimbangan (Wantim) Partai Golkar versi Munas Bali, Akbar Tandjung, membuktikan adanya pengakuan bahwa DPP Golkar hasil Munas Bali memang tidak sah.

Pernyataan Akbar tidak berlebihan. Menurut UU Partai Politik, kepengurusan partai politik ditetapkan dengan keputusan Menteri dalam hal itu Menteri Hukum dan HAM. Sedangkan kepengurusan DPP Partai Golkar hasil Munas Bali tidak pernah ditetapkan oleh Menkumham. Menkumham justru menetakan DPP Golkar hasil Munas Jakarta yang dipimpin Agung Laksono.

Keputusan Menkumham yang menetapkan DPP Golkar hasil Munas Jakarta itulah kemudian disengketakan oleh Golkar hasil Munas Bali. Keputusan Kasasi Mahkamah Agung memerintahkan Menkumham mencabut/membatalkan keputusan penetapan kepengurusan Golkar hasil Munas Jakarta, namun tidak ada perintah bagi Menkumham untuk mengesahkan Golkar hasil Munas Bali.

Sejak awal memang Golkar hasil Munas Bali yang dipimpin Aburizal Bakrie tidak mengantongi satu pun dokumen pengesahan dari Menkumham. Namun anehnya, pimpinan DPR lebih mempercayai dan menerima surat Aburizal Bakrie yang menetapkan Ade Komaruddin sebagai Ketua Fraksi Golkar DPR dan Bambang Soesatyo sebagai Sekretaris Fraksi Golkar DPR. Pimpinan DPR saat itu, Setya Novanto mengabaikan surat Agung Laksono yang menetapkan Ketua Fraksi Golkar DPR adalah Agus Gumiwang Kartasmita dan Sekretaris Fraksi Golkar adalah Zainuddin Amali. Padahal Agung Laksono mengantongi legalitas formal dari Menkumham.

Kini kasus itu berulang. Setelah Setya Novanto mundur sebagai Ketua DPR karena tersandung kasus ‘Papa Minta Saham Freeport’, kubu Aburizal Bakrie yang tidak memiliki legalitas formal dari pemerintah mengajukan Ade Komarudin sebagai Ketua DPR menggantikan Novanto, sedangkan Novanto sendiri kembali menjadi Ketua Fraksi Golkar menggantikan Ade Komaruddin. Pergantian itu diusulkan oleh DPP Golkar yang belum mendapatkan pengesahan dari pemerintah.

Novanto langsung membuat gebrakan. Dia menggantikan Bambang Soesatyo sebagai Sekretaris Fraksi Golkar dengan Aziz Sjamsoeddin dan Ahmadi Noor Supit yang menjabat Ketua Banggar dengan Kahar Muzakir.

Noor Supit mengatakan pergantian dirinya itu aneh karena Novanto diusulkan DPP Golkar yang belum mendapatkan pengesahan dari Menkumham. Namun Noor Supit tidak mempersoalkan, pengusulan Ade Komaruddin menjadi Ketua DPR juga sama anehnya karena diusulkan DPP Golkar yang juga belum mendapatkan pengesahan Menkumham.

Yang lebih mengherankan, baru sekarang elite Golkar membicarakan asas legalitas formal Partai Golkar. Selama satu tahun ini azas legalitas formal sama sekali tidak dihiraukan bahkan ditabrak begitu saja hanya karena merasa ada persekongkolan yang kuat di parlemen. Mereka tidak memikirkan dampak dari azas legalitas formal tersebut di kemudian hari. Dampak dari tiadanya azas legalitas formal DPP Golkar hasil Munas Bali namun menguasai DPR itu berakibat bagi tatanan ketatanegaraan kita.

Seluruh produk dari DPR satu periode yang lalu dengan menyertakan Fraksi Golkar yang diajukan partai yang tidak memiliki legalitas formal, akan berimplikasi sangat luas.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline