Lihat ke Halaman Asli

Mengkritisi UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Diperbarui: 19 Desember 2021   08:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Oleh :Rika Rofi'atul Mukaromah

Dalam pembahasan uu no.1 th 1947 ada kemungkinan menimbulkan hal yang krusial jika diterapkan dalam masyarakat Indonesia. yakni pada pasal 2 ayat 1 yang berbunyi "perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum agama masing-masing" . hal ini menyinggung mengenai pernikahan beda agama yang seakan-akan hal itu dilarang, padahal hakikat cinta itu sendiri lahir dari hati nurani tiap manusia dan hal itu merupakan fitrah dari tuhan, dan banyak terjadi manusia saling mencintai tanpa memandang perbedaan agama.

Penjabaran cara yang populer untuk ditempuh pasangan beda agama agar pernikahannya dapat dilangsungkan. empat cara tersebut adalah: meminta penetapan pengadilan,perkawinan dilakukan menurut masing-masing agama,penundukan sementara pada salah satu hukum agama, dan menikah di luar negeri.

Putusan MA No. 1400 K/Pdt/1986. Putusan MA tersebut antara lain menyatakan bahwa Kantor Catatan Sipil saat itu diperkenankan untuk melangsungkan perkawinan beda agama.

Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan. Ketentuan tersebut, berimplikasi tidak sahnya perkawinan di luar hukum agama, sehingga mengandung unsur "pemaksaan" warga negara untuk mematuhi agama dan kepercayaannya di bidang perkawinan. Pemohon beralasan beberapa kasus perkawinan beda agama menimbulkan ekses penyelundupan hukum.

Alhasil, pasangan kawin beda agama kerap menyiasati berbagai cara agar perkawinan mereka sah di mata hukum, misalnya perkawinan di luar negeri, secara adat, atau pindah agama sesaat. Karenanya, ada permintaan agar MK membuat tafsir.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline