Lihat ke Halaman Asli

Ayo Speak Up, Perempuan Juga Berhak Bahagia Dan terbebas Dari Kekerasan

Diperbarui: 14 Oktober 2021   19:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Oleh : Rika Rofi'atul Mukaromah_S20191162_HK4

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) bukan lagi masalah yang baru di tengah masyarakat. Awal dikeluarkannya status pandemi yang diikuti kebijakan work from home serta study from home, kemudian bermuara pada kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), perempuan dan anak menjadi kelompok terdampak yang paling rentan. Seperti permasalahan yang bukan lagi asing bagi kalangan perempuan yaitu kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Kekerasan Dalam Rumah tangga (KDRT) adalah segala bentuk ancaman, pelecehan, dan kekerasan antara dua orang yang terikat dalam hubungan pernikahan atau anggota keluarga lain, misalnya anak. Siapa pun berpeluang menjadi pelaku atau korban KDRT.

Dalam Undang Undang No. 23 tahun 2004 pasal 1 ayat 1 tersebut menjelaskan tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga mengklasifikasikan kekerasan menjadi empat yaitu kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan kekerasan penelantaran rumah tangga.

Kekerasan fisik dengan bentuk penganiayaan dapat menimbulkan luka ringan, luka berat, menyebabkan sakit hingga hilangnya nyawa.

Kekerasan psikis bantuknya bisa melalui kata-kata kasar, hinaan, kata-kata kotor atau tak pantas, bentakan, menyalahkan atau memojokkan, ancaman, pengekangan dan lainnya. Kekerasan psikis menimbulkan rasa tak berdaya, rasa terkekang, rasa tidak percaya diri. Kekerasan psikis terkadang dianggap sepele namun sebenarnya kekerasaan secara perlahan akan menimbulkan rasa sakit secara psikologis dan mental yang bisa berujung terganggunya juga kesehatan fisik.

Bentuk kekerasan seksual dalam KDRT berwujud pemaksaan hubungan intim terhadap orang-orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga. Misalnya memaksa istri behubungan intim padahal salah satu pihak tidak mau.

Mengingat UU tentang KDRT merupakan hukum publik yang didalamnya ada ancaman pidana penjara atau denda bagi yang melanggarnya, maka masyarakat luas khususnya kaum lelaki, dalam kedudukan sebagai kepala keluarga sebaiknya mengetahui apa itu kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Dalam lingkungan terdekat ini biasanya kekerasan sulit terungkap dan bahkan berlangsung berulang-ulang. Korban pun enggan menceritakan kekerasan yang dialaminya karena merasa malu, merasa takut, bahkan merasa kebingungan harus melapor kemana.

Namun,Beberapa lembaga perlindungan juga telah berdiri untuk menampung kesaksian dan memperjuangkan hak para korban. Itu bagus tapi, Faktanya masih banyak perempuan yang tidak sadar bahwa ia adalah korban kekerasan. Sebagian perempuan juga ada yang telah sadar namun enggan untuk melaporkan. Sebagian besar perempuan lebih memilih diam atau hanya menceritakan kepada orang terdekat. Banyak kasus KDRT tak terungkap yang mungkin akan menjadi bom waktu dikemudian hari. Terdapat beberapa alasan untuk menjelaskan fenomena ini, diantaranya yaitu perempuan korban kekerasan merasa bahwa permasalahan rumah tangga adalah aib keluarga yang harus ditutupi, ketidakberdayaan ekonomi, hingga pemahaman akan proses hukum yang rendah.

Dalam proses hukum, Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dapat diselesaikan melalui dua proses hukum yaitu Pengadilan Pidana dimana pelaku harus melakukan pertanggungjawaban atas perbuatannya secara pidana atau Pengadilan Perdata berupa gugatan perceraian.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline