Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai ( HPP ) 12% yang diatur dalam Undang Undang No 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang akan mulai diberlakukan Januari 2025, telah menimbulkan pro kontra dan menimbulkan kegaduhan di ruang publik. Yang paling menarik dibalik kenaikan PPN12% itu adalah adanya saling tuding dikalangan legislator Senayan. Perseteruan dilembaga legislatif terkesan saling lempar tanggung jawab dan bentuk cuci tangan untuk menarik simpati publik. Dan itu telah menjadi tontonan yang tidak mendidik dan menambah kebingungan rakyat yang terdampak langsung oleh kenaikan PPN tersebut.
Para legislatif Senayan entah lupa atau sengaja melupakan dirinya akan tugasnya sendiri sebagai legislator. Bahwa setiap UU baik itu yang dibuat sendiri oleh DPR maupun yang diajukan oleh Pemerintah termasuk UU HPP No 7 Tahun 2021 yang menurut Astawa Guru Besar Hukum Tata Negara FH Unpad bahwa setiap UU itu adalah merupakan merupakan sharing power DPR dan Presiden. Maka setiap UU yang telah disahkan bersama harus pula dipertanggungjawabkan bersama. Namun yang terjadi dibalik polemik kenaikan PPH12% yang merupakan amanat UU HPP no 7 tahun 2021, DPR malah terkesan melepas tanggungjawabnya dengan saling tuding saling lempar masalah. Dan ingin memberi pesan kepada publik bahwa DPR tersucikan dari kenaikan PPN tersebut.
Padahal sebagaimana diketahui bersama, bahwa UU HPP no 7 tahun 2021 dihasilkan atas kesepakatan atau kesepahaman dalam bentuk persetujuan bersama antara pemerintah dengan DPR. Mayoritas Fraksi di DPR yakni sebanyak 8 Fraksi ( Gerindra, PDIP, , Golkar, PAN, Demokrat, NasDem, PPP, dan PKB. ) dan hanya ada satu Fraksi yang menolak yakni PKS. Tapi yang nampak sekarang ini, ke 8 Fraksi yang setuju UU HPP malah berseteru. Dan uniknya perseteruan lebih kepada gimik politik sebagai bentuk kelicikan dan kemunafikan berpolitik. Seharusnya dengan adanya polemik kenaikan PPN 12% yang menjadi sorotan publik, DPR dan Parpol yang " MENYETUJUI UU HPP " memberikan penjelasan utuh ke publik alasan kenapa pihaknya memberikan persetujuan terhadap UU tersebut.
DPR sebagai representasi dari Rakyat, apapun yang DPR lakukan dalam membuat kebijakan dengan atas nama rakyat, wajib memberikan pertanggungjawaban kepada rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Setiap produk legislatif harus nampak keberpihakan kepada rakyat bukan malah sebaliknya. Akibat kurang aspiratif dalam menghasilkan produk legislatif, sehingga sering memunculkan sikap reaktif Rakyat menolak kebijakan yang dihasilkan oleh wakilnya di DPR. Seperti yang terjadi soal UU HPP kenaikan PPN 12% yang sekarang menjadi komplik politik diantara partai politik pendukung pemerintah dengan yang diluar pemerintah.
Jadi DPR terutama yang dulu seteuju terhadap UU HPP no 71 tahun 2021, harus tampil ke publik memberikan penjelasan alasan kenapa setuju menaikan beban hidup rakyat melalui kenaikan PPN 12%. Ini yang sangat penting dan ditunggu publik pertanggungjawaban moral DPR kepada Rakyat bukan malah cipta kondisi dengan melakukan Gimik Politik yang menambah komplik semakin luas ke arah komplik politik yang menambah semakin bermasalah negeri ini. Sebab tidaklah adil kalau soal kenaikan PPN tersebut diarahkan kepada pemerintah sebagai inisiatornya, sementara para legislatornya yang setuju lepas tanggung jawab dan saling lempar batu sembunyikan dosa. Lalu sekarang berteriak keras membawa nama rakyat seakan - akan tampil sebagai JURU SELAMAT RAKYAT, setelah sebelumnya berkhianat. Disinilah kita bisa melihat bahwa DPR sangat minim dlaam menyerap aspirasi rakyat. Padahal untuk itu mereka difasilitasi dengan diberikan anggaran yang cukup besar yang dinamakan Pokok Pikiran atau POKIR.
Nah sekarang akankah DPR mengakui merasa bersalah dan berDOSA dan meminta MAAF KEPADA RAKYAT atas persetejuannya kenaikan PPN 12% yang jelas menambah beban hidup rakyat. Kita Tunggu saja, semoga mereka tersadarkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H