Lihat ke Halaman Asli

Di Pilkada Serentak, Kenapa Pemilih Lebih Memilih Tidak Memilih?

Diperbarui: 6 Desember 2024   09:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Walaupun belum ada data resmi soal tingkat partisifasi pemilih di pilkada serentak 2024, tetapi di banyak daerah seperti di kabupaten Tasikmalaya partisifasi pemilih terjadi penurunan. Berdasarkan data KPU kabupaten Tasikmalaya tercatat dari 1,4 juta pemilih ada 400 ribu pemilih yang tidak datang ke TPS pada 27 November lalu atau menurun  sekitar 10% dari jumlah pemilih di Pemilu 2024. Secara keseluruhan tingkat partisifasi pemilih di pilkada kabupaten Tasikmalaya hanya mencapai 68% dari target 78%. 

Hilangnya sekitar 400 ribu pemilih di pilkada kabupaten Tasikmalaya tahun 2024 menjadi sorotan terhadap kinerja KPU yang dianggap tidak optimal dalam meningkatkan partisifasi pemilih. Namun tanpa bermaksud untuk menyalahkan KPU atau warga yang tidak datang ke TPS, dari catatan  penulis menurunnya tingkat pasrtisifasi pemilih di pilkada serentak 2024 disebabkan oleh beberapa faktor. 

Pertama, System pendataan pemilih masih terdapat kelemahan dan bermasalah. Validasi  data pemilih melalui petugas Pantarlih oleh KPU menjadi catatan penting dan menjadi pertanyaan banyak pihak . Benarkah pemutahiran data pemilih melalui Pantarlih sudah benar-benar valid ?. Sebab hasilnya masih kacau, dimana masih banyak penduduk yang sudah meninggal tetapi masih tercatat sebagai pemilih. Bahkan ada penduduk yang pada pemilu 2024 tercatat sebagai pemilih, tetapi di pilkada 2024 namanya hilang di daftar pemilih. Dan itu terjadi di tempat tinggal penulis sendiri. 

Kedua, Sosialisasi oleh pihak KPU juga dinilai masih sangat rendah dan belum menyentuh sampai lapisan bawah masyarakat. Banyak masyarakat di bawah terutama yang berada di daerah terpencil yang penulis temukan pada H-3 ada yang belum tahu akan diadakan pencoblosan pada tanggal 27 November 2024, bahkan sebagian ada yang belum tahu siapa saja calon-calonnya.   Baik KPU maupun jajaran panitia pemilihan di tingkat kecamatan dan desa kurang masiv dalam melakukan sosialisasi pilkada dan terkesan lebih sibuk mengurus soal teknis saja. 

Ketiga, kebijakan KPU mengurangi jumlah TPS juga menjadi faktor terjadinya penurunan tingkat partisifasi pemilih di pilkada serentak 2024. Di pemilu 2024 lalu, jumlah TPS di kabupaten Tasikmalaya tercatat 5.096 yang tersebar di 351 desa dari 39 kecamatan yang ada. Sementara di pilkada 2024 jumlah TPS menjadi 2.827. Sehingga banyak warga yang   harus memilih di luar kampung. Selain jaraknya jauh juga soal transfortasi menjadi kendalanya. Sebagai contoh di salah satu kampung yang berada di kecamatan Sodonghilir, ada warga yang harus nyoblos di TPS yang jaraknya 4 km dengan medan sulit dan tida ada sarana transfortasi umum sehingga warga kalau mau nyoblos harus naik ojeg dengan ongkos untuk ukuran warga sangat mahal yakni sekitar Rp. 50 ribu lebih per orang.  Maka bagi warga yang kurang mampu lebih memilih tidak nyoblos daripada haruis mengelurkan ongkos ojeg. " Lebih baik beli beras buat makan keluarga daripada uang sebesar itu dipakai ongkos ojeg. Apalagi di rumah saya ada 3 orang pemilih " demikian pengkuan salah seorang warga yang penulis temui saat itu. 

Keempat, yang menjadi faktor turunnya tingkat partisifasi pemilih di kabupaten Tasikmalaya adalah adanya sikap apatis sebagian warga. Bahi sebagia warga pilkada tidak akan berpengaruh pada nasib dirinya. Sikap apatis ini sangatlah wajar  sebagai bentuk kekecewaan warga selama ini terhadap pemimpin yang dipilihnya yang dinilai tidak sesuai dengan harapannya. " Bagi saya mah memilih atau tidak memilih tidak akan mengubah nasib saya sebagai kuli. Yang buruh tani tetap buruh tani. Lebih baik kuli saja daeripada memilih yang belum tentu yang dipilihnya benar dan jujur  " Itulah yang terlontar jujur dari sebagian warga yang lebih memilih bersikap apatis di pilkada. Pigur kandidat yang belum bisa mampu meyakinkan warga menjadi penyebabnya pula. 

Dan kelima, adalah  pelaksaan Pilkada serentak 2024 yang waktunya tidak terlalu jauh dengan pemilu 2024 juga menyebabkan tingkat partisifasi pemilih menurun. Bagi pemilih yang   bekerja di rantau, lebih memilih tidak pulang kampung. Sebab sudah pasti ongkos untuk pulang kampung tidaklah sedikit terutama yang kerjanya sebagai buruh bangunan atau tukang jualan keliling di rantau. 

Dimana pada saat pemilu 2024 lalu, biaya untuk pulang kampung demi nyoblos, mereka harus mengeluarkan uang paling sedikit Rp 300 rb. Itu belum dengan harus membawa oleh-oleh buat keluarganya di kampung. Sehingga bagi pemilih yang merantau lebih baik tidak pulang daripada harus mengeluarkan  uang yang tidak sedikit. Istilah penulis, nyoblos berat di ongkos. Apalagi pelaksaan pilkada kali ini waktunya tidak terlalu jauh juga dengan akan tibanya hari raya lebaran yang jelas akan banyak banyak kebutuhan yang dihadapinya termasuk untuk mudik  yang  menjadi kewajiban bagi perantau. 

Itulah catatan penulis mengenai kenapa terjadi penurunan tingkat partisifasi pemilih di pilkada serentak 2024 khususnya di kabupaten Tasikmalaya. Untuk itu perlu ada evaluasi  serius oleh pihak KPU sebagai penyelenggara. Dan yang harus di evaluasi adalah soal waktunya yang berdekatan dengan pelaksaan pemilu harus dipertimbangkan kedepannnya. Jangan sampai kejadin di pilkada 2024 akan terjadi di pilkada selanjutnya. Memilih sebagai hak politik warga negara jangan sampai memberatkan warga itu sendiri sehingga nyoblos berat di ongkos. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline