Adanya perubahan jumlah maksimal pemilih di TPS oleh KPU di Pilkada Serentak 20204 ini, berpontesi menurunnya tingkat partisifasi warga dalam menyalurkan hak politiknya. Seperti di kabupaten Tasikmalaya Jawa Barat, pada Pilkada serentak 2024, KPU mengurangi jumlah TPS, dari 5.096 TPS pada Pemilu Pilpres/Pileg lalu, pada Pilkada serentak 2024 menjadi 2.827 TPS tersebar di 351 desa dari 39 kecamatan yang ada di kabupaten Tasikmalaya. Alasannya bahwa di Pilkada ini jumlah maksimal pemilih di satu TPS 600 orang beda dengan Pemilu lalu yakni 300 orang.
Warga yang berada di salah satu kampung dimana jumlah pemilihnya kurang 600 orang terpaksa nanti pada saat pencoblosan harus mencoblos di luar kampung dengan jarak yang jauh ada yang berjarak sampai 3 km dengan kondisi medannya cukup sulit apalagi sekarang sudah masuk musim penghujan.
Kondisi diatas dikeluhkan oleh warga kabupaten Tasikmalaya khususnya yang berada di desa desa terpencil yang jarak penduduk dengan penduduk lainnya berjauhan ditambah kondisi wilayahnya banyak yang masih terisolir masih sulit dalam akses tranfortasi. Sarana infrastruktur jalan banyak yang parah. Bagi sebagian warga yang mempunya roda dua tidak akan menjadi masalah, tetapi bagi yang tidak punya kendaraan terpaksa harus jalan kaki.
Sebagai conto, warga kedusunan Parakantilu desa Muncang kecamatan Sodonghilir kabupaten Tasikmalaya, semua warga pada tanggal 27 November nanti harus mencoblos di luar kedusunan sebab jumlah pemilihnya kurang dari 600 orang. Pemilih di Kp. Parakantilu dibagi ke 2 TPS, yakni ada yang mencoblos di TPS di Kp. Cininda dengan jarak 1 Km dan di TPs Muncang berjarak kurang lebih 3 Km dengan kondisi jalan menanjak. Akibatnya, puluhan pemilih berusia lanjut/lansia terancam tidak bisa menyalurkan Hak politiknya di Pilkada serentak 2024 nanti , terutama yang keluarganya tidak mempunyai kendaraan. Kalaupun ada sarana transfortasi ojek, ongkosnya cukup mahal mencapai 25 ribu sekali naik. Jadi kalau pulang pergi warga harus mengeluarkan uang 50 rb. Dan ini yang pertama kali terjadi dalam sejarah Pemilu/Pilkada di kampung Parakantilu harus nyoblos di luar kampung.
Itu baru satu conto kasus, masih banyak daerah di kabupaten Tasikmalaya yang lebih parah lagi kondisinya, seperti di kecamatan Bojonggambir, Culamega, Cipatujah dll.
Apakah kondisi tersebut sebelumnya sudah dipikirkan oleh pihak KPU sebagai penyelenggara Pemilu/Pilkada termasuk antisipasinya. Sebab apabila pihak KPU tidak mengatasi dengan memberikan solusi yang tepat, selain akan menjadi potensi penurunan tingkat partisifasi warga datang ke TPS juga akan menjadi kerawanan politik uang. Dimana para peserta Pilkada akan memanfaatkan kondisi tersebut dengan cara memobilisasi calon pemilih baik itu memberikan uang transfortasi maupun angkutan umum untuk calon pemilih.
Apabila hal itu terjadi, tidak hanya akan menjadi benturan di lapangan antar Tim Calon peserta Pilkada ( Calon Bupati/Wakil Bupati dan Calon Gubernur/Wakil Gubernur ) juga jelas akan meruksak tatanan demokrasi itu sendiri. Apalagi sikap pragamatisme masih kuat disebagian masyarakat. Bahkan ada anekdot di masyarakat ketika Pemilu/Pilkada yakni ; " Salami Kahartos, Kahartos, komo aya artos, In Sya Alloh di Coblos " yang artinya selama bisa dirasa, apalagi ada materi dan saling mengerti maka akan dipilih.
Pilkada serentak 2024 tinggal menghitung hari lagi, tetapi masih ada peluang bagi KPU untuk mengantisipasi dan memberikan solusi atas persoalan tersebut. Kalau tidak ada tindakan, ini akan menjadi semakin bertambahnya cacatan buruk KPU dalam menyelenggarakan pesta demokrasi yang memakan anggaran tidak sedikit.
Dan Bawaslu sendiri sebagai lembaga pengawas juga jangan lalai melihat potensi kerawanan di Pilkada tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H