Lihat ke Halaman Asli

septiya

jarang nulis lebih sering mengkhayal

Iras

Diperbarui: 17 Juni 2015   22:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1412566024752925110

ilustrasi : danbo

IRAS

“Apa kamu kenal dengan cewek itu?” Nindy  memandang Iras

“kalau kenal banget sih enggak, baru ketemu satu kali. Kenapa?”

“Nggak, aku hanya ingin tahu saja. Sepertinya dia bahagia.” Nindy mengalihkan pandangannya ke langit sore itu. Menahan agar air matanya tidak jatuh.

Iras tahu, dalam kalimat yang baru saja diucapkan perempuan yang duduk disampingnya itu ada kesedihan. Iras memandangi wajah Nindy yang sedang menengadah.

“kamu nggak apa-apa?” tanya Iras cemas

“Pasti perempuan itu lebih dariku. Iyakan?”

“kenapa kamu bilang seperti itu?” Iras mengernyitkan dahi, tidak paham apa yang dimaksud oleh Nindy.

“Dulu..aku mengatakan itu kepada Nino”

“Mengatakan apa?”

“Carilah perempuan yang lebih baik dariku. Dan sekarang dia sudah menemukannya.”

Iras melihat penyesalan dari perempuan yang semalam memintanya untuk bertemu hari ini di taman. Nino, teman yang ia kenal karena tergabung dalam komunitas yang sama. Beberapa waktu yang lalu, Iras  berkenalan dengan Nindy lewat jejaring sosial. Nindy yang menambahkan pertemanan. Saat itu, Iras  sama sekali tidak tahu bahwa Nindy adalah mantan Nino. Dia  hanya mengetahui bahwa Ninoo pernah mempunyai pacar yang tinggal di pulau seberang.

***

Kata-kata Nindy terus terngiang dalam pikiran Iras. Beberapa bulan berkenalan dengan Nindy, menjadi teman yang selalu mendengar ceritanya. Cerita yang sebenarnya sudah sangat malas dia dengar. Akan tetapi, Iras tidak mampu untuk menolak atau mengalihkan topik pembicaraan ketika Nindy sedang membicarakan tentang Nino.

Pernah sekali ingin rasanya Iras berkata kepada Nindy untuk mencoba melupakan Nino perlahan, tapi kalimat itu tidak pernah mampu terucap. Ada semangat dengan mata berbinar ketika Nindy sedang menceritakan hubungannya dengan Nino dulu. Ada senyuman ketika Nindy berusaha mengingat kenangan manis bersamanya dengan Nino. Akan tetapi setelah itu, Iras mau tidak mau juga harus melihat dan berusaha menenangkan ketika Nindy menangis karena menyadari bahwa itu semua tinggal kenangan.

Lamunan Iras buyar ketika handphonenya berdering. Dilihatnya, nama Nindy yang tertera di layar.

“halo..iya Nin ada apa?”

“Ras..” suara Nindy lirih

“Nin..kamu nangis?” Iras yakin pasti ada sesuatu yang membuat Nindy menelponnya.

“Ras, bolehkan aku minta nomor Nino yang baru? Aku mohon.”

“Jadi kamu menelponku sambil menangis seperti ini untuk minta mohon nomor Nino yang baru?”

“ Aku nggak tahu lagi harus gimana Ras. Aku benar ingin ketemu dengan Nino.”

Iras hanya diam. Di satu sisi, Nino adalah temannya dan yang ia tahu sekarang, Nino sudah memiliki pacar, dengan memberi no Nino kepada Nindy mungkin akan mengganggu hubungan Nino dan pacarnya. Di sisi lain Iras tidak tega ketika mendengar Nindy menangis.

“Nin, aku kan sudah bilang. Aku nggak punya nomor Nino yang baru.”

“kamu kan bisa tanyain ke temenmu yang lain.”

“bisakah kamu menerima kenyataan ini Nin? Nino sudah punya yang lain. Untuk apa kamu masih berlaku seperti ini. Semua sudah terlambat Nin.”

“Aku masih punya kesempatan Ras. Aku yakin Nino masih cinta sama aku. Aku yakin Nino masih sayang sama aku. Aku yakin aku bisa memulai lagi dengan dia.”

Iras merasa sekeras apapun ia meyakinkan bahwa yang dilakukan Nindy sampai saat ini hanya akan menyakiti dirinya sendiri nantinya. Nindy tetap kekeuh dengan keyakinannya akan perasaan Nino.

***

Malam setelah Iras mengirim pesan untuk memberitahukan nomer Nino yang baru, Ia mencoba untuk tidak menghubungi Nindy. Menunggu Nindy yang menghubunginya. Seminggu berlalu, Iras khawatir dengan keadaan Nindy. Akhirnya Iras memutuskan untuk menghubungi Nindy.

“Halo…Nin? Kamu baik-baik aja?”

“ Hai Ras…entahlah. Aku beberapa hari yang lalu menelpon Nino, Ras.”

“Lalu?”

“ Dia memintaku untuk berhenti Ras. Dia bilang dia sudah melakukan yang aku minta. Mencari yang lebih baik dariku. Konyol sebenarnya aku. Aku yang mengakhiri semua, dan aku pula yang memintanya kembali.”

“penyesalan selalu datang belakangan Nin. Kamu yakin baik-baik saja?”

“ Enggak Ras..tentu aku bohong kalau aku bilang aku baik-baik saja. Tapi..aku harus segera menjadi baik-baik saja. Iya kan?”

“Yah..bener banget. Kamu pasti bisa Nin.”

“Ras..makasih kamu sudah mau mendengar semua ceritaku. Makasih kamu selalu ada untukku. Makasih sudah menjadi sahabatku”.

Iras duduk di balkon rumahnya, memandang jauh ke depan. Seperti ada lubang di hatinya malam itu.  Mengharapkan orang yang tidak mengharapkannya. Malam ini terasa lebih dingin dari malam sebelumnya.

“Nin..kehadiranku memang kamu anggap, tapi tidak untuk hatiku.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline