Lihat ke Halaman Asli

septiya

jarang nulis lebih sering mengkhayal

Kenangan dan Kereta

Diperbarui: 17 Juni 2015   19:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14141334411540577979

ilustrasi : KA

Perjalanan jauh, kalian lebih suka naik apa? mobil pribadi? Pesawat? Bis? Kereta api? atau Kapal ? Aku? Aku sangat suka dengan kereta api? Kenapa? Jawabannya sederhana saja, kakekku seorang pensiunan pegawai PJKA atau sekarang sudah berubah menjadi PT KAI. Hal itu tentu memudahkan kalau aku dan ibu ingin pergi dengan naik kereta. Kakekku lah yang mencarikan tiketnya, dan pasti lebih murah.

Aku sangat suka mendengar bel khas stasiun yang menjadi penanda bahwa akan ada kereta yang datang. Dilanjutkan dengan pengumuman oleh petugas yang menyebutkan nama kereta, jalur mana dan dari arah mana kereta datang.  Hampir setiap dua bulan aku dan ibu pasti menuju kota itu, ibukota, dan selalu naik kereta api. Setiap perjalanan itu aku dan ibu memilih menggunakan kereta ekonomi. Kotaku hanya kota kecil, stasiun di kotaku pun tak kalah kecilnya, hanya kereta ekonomilah yang berhenti di stasiun itu.

Ketika kereta datang, penumpang tanpa aba-aba biasanya berdiri serempak, dengan bawaan mereka masing-masing. Tas ransel, tas jinjing besar, kardus mie instan sepertinya selalu ada. Entah kenapa ada rasa deg-deg an ketika kereta yang akan aku tumpangi datang. Tidak lupa untuk bertanya ke ibu gerbong nomer berapa dan nomer tempat duduk. Antusias. Aku selalu menanti kereta dengan antusias.

Sebelumnya, di rumah, ayahku selalu bertanya, “dek, kereta bunyinya gimana?”. Aku terdiam, lalu ayah menirukan suara kereta, “tut tut…jo jajan..jo jajan..jo jajan.” Mendengar itu aku lalu menirukannya. Apakah memang seperti itu bunyi kereta? Entahlah. Aku mempercayai apa yang ayah katakan waktu itu.

Kereta ekonomi, sekitar lima belas sampai dua puluh tahun yang lalu, kereta masih penuh sesak. Pedagang asongan mulai dari makanan, minuman, mainan dan sebagainya tumplek di atas kereta, belum lagi penumpang yang memiliki tiket tanpa tempat duduk atau berdiri, mereka duduk tiduran di sela-sela tempat duduk.

Dari berbagai pedagang itu, pasti ada saja yang menarik mataku, aku biasanya merengek kepada ibu untuk dibelikan mainan. Dari situ lah ibu mengingatkanku akan pertanyaan ayah sebelum berangkat. “Tadi kata ayah suara kereta gimana?” Mendengar pertanyaan ibu, aku biasanya langsung menirukan gaya ayah menirukan suara kereta “Tut tut…jo jajan..jo jajan..jo jajan.” Dengan cara itulah ibuku melarangku untuk membeli jajan sewaktu di kereta ( jo jajan = jangan jajan).

Suasana stasiun, bel stasiun tanda kereta datang dan akan berangkat adalah hal yang menarik dan selalu mampu menarikku ke masa lalu. Hanya saja sekarang, ayahku sudah tidak akan bertanya lagi seperti apa bunyi kereta. Jikapun bertanya, aku sudah tidak percaya kalau kereta itu berbunyi Tut tut Jo jajan..jo jajan. Bahkan, aku memakai bel stasiun itu sebagai nada dering di HPku sampai sekarang.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline