Lihat ke Halaman Asli

septiya

jarang nulis lebih sering mengkhayal

Serendipity [4]

Diperbarui: 17 Juni 2015   17:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

ilustrasi : payung

Cerita sebelumnya Serendipity [3]

#Payung Hujanmu

Kota sudah mulai basah setiap sore, musim hujan sudah datang. Payung-payung cantik mulai menampakkan diri, melindungi mereka yang bernaung dibawahnya.

“hai Tish..sudah pulang?”

Pesan itu sudah Yudha kirimkan satu jam yang lalu. Read. Hanya dibaca oleh Tisha, tanpa balasan. Yudha berniat ke kantor Tisha sore itu, mungkin Tisha marah sejak kejadian terakhir itu. Hujan mulai deras ketika Yudha keluar dari parkiran kantornya. Hari itu, Yudha tidak mengendarai mobilnya. Tadi pagi dia memilih untuk memakai motornya. Efisien waktu di tengah kemacetan kota.

Tisha termenung memandangi layar handphonenya.

“Tish aku antar pulang ya?” pesan dari Adrian yang belum juga dibalasnya. Dua hari yang lalu, Adrian mengajak Tisha bertemu di jam makan siang. Adrian meminta maaf untuk kejadian di masa lalu itu. Kejadian yang membuat Tisha harus berdiam diri di rumah hampir selama tiga bulan.

Kejadian itu berawal waktu mereka satu kampus. Ya Arian dan Tisha kuliah di satu kampus. Adrian cukup popular di kalangan mahasiswa karena aktif di BEM Kampus. Pesona Adrian juga tidak lepas dari mata Tisha. Akan tetapi, hal itu justru di salah gunakan oleh Adrian. Dia yang baru saja diputus oleh kekasihnya, memanfaatkan Tisha sebagai pelarian.

Tisha tidak mengerti tentang hal itu, dia yang merupakan perempuan lugu hanya percaya bahwa Adrian memang mencintainya. Hingga suatu saat Adrian jengah dengan kepura-puraannya, untuk membuat Tisha menyingkir darinya dia bermaksud menakut-nakutinya dengan cara berpura-pura memaksa Tisha untuk mau berhubungan badan dengannya. Hal itulah yang membuat Tisha sempat depresi.

Lamunan Tisha pecah ketika handphone di tangannya berdering. Di layar ada nama Yudha. Tisha memutuskan untuk tidak mengangkatnya. Segera ia keluar ruangan, begitu sampai lobby ternyata Adrian sudah berdiri di sana.

“Kamu gak balas pesanku, jadi aku putuskan nunggu di sini.”

“aku hanya ga mau merepotkanmu aja.”

Mereka berdua berjalan beriringan, di situ pula mereka bertemu dengan Yudha.

“sorry Yudh…aku pulang sama Adrian.” Itulah kalimat yang keluar dari mulut Tisha. Yudha hanya mampu mengangguk mendengarnya dan membiarkan mereka berdua pergi.

“Tish…ada apa sebenarnya ?” batin Yudha.

*8*

Tisha bingung dengan yang dia lakukan sore tadi. Pikirannya kacau. Apakah memang rasa untuk Adrian itu masih ada? Sementara Yudha masih tidak mengerti dengan Tisha yang mulai menjauhinya. Keesokan harinya, Yudha sengaja menjemputnya. Tisha kaget ketika keluar mobil Yudha sudah terparkir di depan rumah.

“ngapain kamu jemput aku ?” tanya Tisha dengan nada sinis

“Ampun deh Non…pagi-pagi dah jutek aja.” Yudha mencoba berlaku biasa

“terus?”

“Kemarin kan kamu sudah ninggalin aku gitu aja tuh, karena kamu gak mau aku antar pulang, jadi kamu harus mau aku jemput. “

“Peraturan dari mana? Lagian Pak Nomo juga sudah siap .”

“Siapa bilang? Pak Nomo harus anter kakak kamu, iya kan mbak ?”

Dari belakang muncul Lusi,  Lusi kakak Tisha. Mendengar itu Lusi hanya tersenyum. Lusi tahu usaha Yudha untuk mendekati adiknya.

“Iya Tish..kamu bareng Yudha aja, lagian dia sudah sampai sini juga. “

“tapi kan..aku gak  minta.”

“sudah …berangkat gih kalian. Yud..hati-hati ya nyetirnya.”

Dengan muka terpaksa, Tisha masuk ke mobil Yudha. Sepanjang perjalanan Tisha hanya terdiam.

“Non..jangan diem aja donk. Bikin ngantuk.”

“nyalain aja tuh musik.”

“Maksudku ngobrolin apa gitu.”

“lagi gak ada yang mau diobrolin.”

“Sarapan dulu  yukk..” Yudha langsung menepikan mobilnya ketika melihat penjual bubur ayam yang sedang mangkal di tepi jalan.

“Apa sih pakai berhenti dulu, aku bisa telat. “

“Nggak lah..kantormu tinggal 15 menitan lagi, kita makannya cepet, jadi gak telat. “

Yudha langsung turun dari mobilnya dan memesan dua porsi bubur ayam. Tisha masih diam di dalam mobil. Dilihatnya lelaki yang sedang duduk di kursi plastik menungu pesannya itu dari dalam mobil.

“Yudh..aku belum tahu dengan perasaanku sendiri. Aku belum tahu adakah ruang untukkmu. Tapi aku nyaman bersamamu, tingkahmu selalu membuatku tertawa. “

“Heh…senyum-senyum sendiri. Buruan turun.”  Kehadiran Yudha di balik jendela mobil mengejutkan Tisha.

“Aku sudah kenyang, makan aja sendiri.” tolak Tisha

“Aku sudah pesan dua, masak aku sendiri yang suruh abisin.”

“ Siapa suruh, aku sudah kenyang.”

Yudha makan buburnya sendiri, Tisha masih enggan untuk turun dari mobil. Lagi-lagi diperhatikannya lelaki yang pagi itu memakai kemeja warna maroon . Tisha iseng memencet klakson beberapa kali untuk menyuruh Yudha cepat menyelesaikan makannya. Akan tetapi hal itu justru malah membuat Yudha kaget dan tersedak.

Menyadari karena kesalahannya, akhirnya Tisha turun dengan air mineral yang kebetulan ada di mobil Yudha.

“Nih minum..” Tisha menyodorkan botol minuman itu

“Makasih.”

“Buruan makannya, aku dah telat nih.”

“Iya, kita berangkat sekarang.”

“itu yang satu porsi gak kamu makan?”

“aku bayar dulu, kamu tunggu di mobil sana.” Yudha tidak menjawab pertanyaan Tisha

Yudha kembali ke mobil dengan satu bungkus bubur ayam.

“di bungkus? Buat siapa?” tanya Tisha

“Pasang seatbelt nya.” Lagi-lagi Yudha tidak menjawab pertanyaan Tisha.

Perjalanan dari makan bubur ayam sampai di kantor Tisha mereka lalui dengan diam. Tisha merasa bersalah dengan keisengannya tadi yang membuat Yudha tersedak. Tisha hendak meminta maaf ketika mobil mereka sampai di memasuki halaman kantor Tisha.

“Yud..aku..”

“sampai juga…beberapa hari ke depan aku akan menjemputmu tiap pagi.” Sahut Yudha sebelum Tisha menyelesaikan kalimatnya, “ kamu harus mau, terserah kamu mau perlaukan aku seperti tadi juga gak apa.”

“ehh Yudh..yang tadi aku..”

“Buruan sana turun. “

Tisha menyadari sepertinya Yudha benar marah padanya. Mobil CRV hitam itu segera meninggalkan Tisha yang masih berdiri bingung di depan lobby kantor.

“Kenapa sih tuh anak? Dia yang maksa kok jadi dia yang marah?” gumam Tisha.

*8*

Keesokan harinya sama seperti pagi sebelumnya, Yudha menjemput Tisha, menepikan mobil untuk jajan bubur ayam sebentar. Lagi-lagi hanya Yudha yang makan. Akan tetapi pagi ini tidak ada Yudha yang rese dan membuat Tisha bete. Sepanjang perjalanan dari rumah Tisha sampai tempat penjual bubur ayam Yudha hanya dia saja. Sembari menunggu Yudha menghabiskan sarapannya, Tisha membuka dashboard mobil, iseng ingin mencari barang kali ada DVD yang bisa diputarnya.

Tisha justru menemukan catatan kecil, sebuah kertas dengan tulisan tangan

Malam mulai tumbang ditemani riuh nyanyian.  Peluh dan asap kendaraan semua menempel di pakaian. Pulang menjadi seperti penutup lelah seharian. menunggu bayangmu terlihat di ujung jalan. Basah kuyub terkena hujan. Tanpa mantel atau payung di tangan. Terhuyung berjalan sendirian. Katamu "tiada kata gratis untuk sebuah impian"....

Tisha mencermati benar catatan kecil itu. Tanpa sadar, Yudha sudah kembali masuk ke mobil.

“Ehh..aku nemuin tulisan ini di dashboard tadi. Tulisan siapa ?” tanya Tisha penasaran

“Punyaku, aku yang nulis. Kenapa?”

“Hah..yakin kamu yang bikin ini? Ini tentang siapa sih ?” Tisha semakin penasaran.

“Kepo ih..”

“Ihh gitu kamu Yudh….ini bagus tau, ini sudah selesai ? atau masih ada lanjutannya ?”

“Menurutmu ?”

“Endingnya ngegantung..aku belum bisa mengambil maksud tulisan mu ini. Jelasin gih.”

“Ribet deh, masak iya aku ngejelasin tulisanku maksudnya apa, tugasmu donk sebagai pembaca.”

“aku bawa ya catatan ini, boleh?” Yudha mengangguk.

*8*

Rutinitas yang sama setiap paginya, Tisha dijemput Yudha, menunggu Yudha menghabiskan sarapannya di tukang bubur ayam pinggir jalan, lalu lanjut mengantar ke kantornya. Obrolan mereka pun tidak banyak. Yudha lebih memilih banyak diam. Tisha ragu untuk menanyakan perubahan sikap Yudha. Hingga pagi itu, pagi di hari ke lima semenjak Yudha rutin menjemput Tisha.

Sesaat sebelum Tisha turun dari mobil

“Besok, aku gak bisa jemput kamu.” lirih suara Yudha

Tisha menoleh

“ohh..gak apa. Aku bisa diantar Pak Nomo. Kan memang seharusnya gitu.”

Yudha menyodorkan sebuah catatan kecil

“apa ini?” Tisha mengernyitkan dahi

“Baca saja, nanti. Sudah turun buruan. Aku buru-buru.”

“Baik Tuan..”

Mobil itu segera melesat, menghilang dari pandangan .Tisha memasukkan catatan kecil ke tasnya sebelum sempat membacanya.

*8*

Pagi ini seperti yang Tisha tahu sebelumnya bahwa Yudha tidak bisa mengantarnya, karena itu dia diantar Pak Nomo. Di dalam mobil barulah dia ingat akan catatan yang diberi Yudha kemarin sebelum ia turun dari mobil.

“kemarin sepertinya aku masukkin tas deh…mana sih..? Tisha membongkar isi tasnya.

Ribuan bulir langit siap menyerang tubuh lemahmu. Musim hujan sudah datang Nona. Siapkah kau? Aku ingin menjadi payung untukmu. Menaungi tubuh lemahmu. Menjadi tempat berlindungmu dari tajamnya air langit itu. Aku tak mau menjadi selimut atau kopi. Yang hadir ketika kau tlah usai bercengkerama dan mengigil karenanya. Aku ingin menjadi payung. Yang tak mampu menjaga mu seutuhnya dari basah. Yang membiarkan tetap ada bagian tubuhmu yang basah terkenanya. Aku mau menjadi payungmu, karena aku ingin bersamamu dalam hujan. Jika tidak musim ini, mungkin musim yang akan datang.

Ada rasa tidak tenang ketika Tisha membaca kalimat terakhir.

“apa maksudnya musim yang akan datang? Oh iya..hari ini kemana ya dia sampai gak bisa jemput aku?”

“Lohh Neng Tisha gak tau ya ?” sahut pak Nomo

“Hah..tau apa pak ?”

“itu soal Mas Yudha.” Tisha mengernyitkan dahi

“Kenapa memangnya Pak?”

“Mas Yudha kan mau ke Macau sore nanti.”

“Macau? Nanti sore?”

Tiba-tiba dada Tisha berkecamuk, ada rasa akan kehilangan di sana.

(bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline