Lihat ke Halaman Asli

septiya

jarang nulis lebih sering mengkhayal

Serendipity [7]

Diperbarui: 17 Juni 2015   13:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14207865711467942834

ilustrasi : fruitbasket

Cerita Sebelumnya : Serendipity [6]

#Second Chance

Senja sore itu nampak indah dari jendela ruang kerja Yudha. Hari ketiga, setelah hampir selama delapan bulan ia meninggalkan kota ini. Semakin sesak, itu yang ia rasakan dengan jalanan kota impian kebanyakan orang ini. Perutnya mulai protes minta untuk diisi, jam di tangan sudah menunjukkan pukul 17.48. Siang tadi, ia melewatkan makan siangnya karena urusan yang memaksanya kembali ke kota ini. Paksaan yang dijadikannya alasan untuk kembali. Paksaan yang menyenangkan? Mungkin.

Setelah membereskan beberapa map di meja kerjanya , Yudha bergegas meninggalkan gedung dengan dua puluh satu lantai itu. Kemacetan menghadangnya, tanpa sadar Yudha mengarahkan mobilnya ke kantor Tisha. Beberapa meter dari kantor Tisha, sebuah Yaris silver menyalip mobilnya. Dari no platnya Yudha mengenali mobil itu. Mobil itu menyalakan sein kiri lalu memasuki parkiran kantor. Hal itu mengurungkan niat  Yudha untuk ke tempat itu. Yudha memilih jalan terus dan putar balik di U turn yang hanya sekitar dua ratus meter dari kantor Tisha.

Sementara itu, Tisha yang menunggu Adrian di lobby, keluar begitu Adrian menelpon kalau dia sudah menunggu di depan.

“Sorry lama ya Tish nunggunya? Tadi meetingnya molor sih.” Tisha menggeleng, Adrian tersenyum.

“Ian, besok kamu nggak usah anter atau jemput aku lagi ya.” Tisha menatap ke arah Adrian. Adrian menoleh. “Kenapa?”

“Aku bareng pak Nomo aja.” Tisha mengalihkan pandangannya ke depan. Mereka larut dalam diam. Adrian sudah menduga hal ini. Dan sejak Tisha mengatakan hal itu sebenarnya dia sudah tahu kesimpulan dari pernyataan yang pernah dia ungkapkan ke Tisha . Sorot lampu kendaraan dan lampu jalan menjadi teman mereka sepanjang perjalanan. Tidak ada lagi obrolan setelah itu.

Alasan Tisha menolak untuk diantar jemput Adrian lagi adalah Lusi. Perdebatan dengan Lusi masalah kedekatannya dengan Adrian membuatnya merasa tidak nyaman di rumah. Meskipun Tisha sudah menjelaskan bahwa hubungan mereka tidak lebih dari seorang teman, Lusi tetap tidak suka. Mobil Adrian berhenti tepat di depan rumah. “Ian, maaf ya. Itu karena kakakku masih belum bisa memaafkanmu.” Adrian menoleh dan tersenyum. “Iya nggak apa, itu memang salahku Tish. Gih buruan masuk, tapi kita masih bisa ketemu kan?” Tisha menggangguk lalu turun dari mobil.

Setelah makan malam, Tisha masuk ke kamar, menonton DVD di kamar sering ia lakukan untuk menunggu rasa kantuk datang. Tetiba ia teringat perkataan penjual bubur ayam. Dicobanya untuk menghubungi nomor Yudha. Tulalit. Delapan kali Tisha mendial nomor itu namun hasilnya sama saja. “Apa itu benar kamu Yudh? Atau bapak itu salah mengenali orang saja.”

Laptop itu masih menyala, malam semakin larut, jam di kamar menunjukkan pukul sebelas lewat lima belas menit. Yudha bersender di kursi mengingat kejadian sore tadi. Ia yakin itu pasti mobil Adrian yang akan menjemput Tisha. “Tish…musim hujan sepertinya sudah hampir berlalu. Kamu mungkin sudah tidak butuh payung lagi.” Yudha men-shut down laptopnya.

*8*

Pagi menjelang, menawarkan berbagai pilihan baru untuk setiap manusia. Hari ini Yudha memilih untuk tidak mampir ke bubur ayam langganannya, ia mengingat perkataan penjualnya tempo hari kalau Tisha sering ke tempat itu juga. Sementara ia belum siap bertemu dengannya, entah apa yang membuatnya takut. Adrian, ya. Ia takut mengetahui kenyataan mengenai hubungan Tisha dan Adrian.

Pak Nomo sedang memanasi mobil di depan. Tisha terburu-buru, ada meeting pagi. Pagi ini dia kesiangan karena semalam dia menonton DVD sampai jam satu malam. “Pak berangkat sekarang.” Pak Nomo mengangguk lalu masuk ke mobil. Hari ini banyak yang harus dikerjakan Tisha, mulai dari meeting, menyelesaikan laporan lalu meeting lagi di sore hari.

Adrian termangu di meja kerjanya. Ia baru saja menerima telpon dari Yudha. Mengetahui Yudha telah kembali ke kota ini membuatnya khawatir. Khawatir dia tidak akan bisa lagi dekat dengan Tisha. Adrian tahu Yudha dan Tisha saling suka. Hanya mereka belum tahu dan mengakui perasaan satu sama lain.

Adrian menghubungi Tisha, tiga kali akan tetapi tidak diangkat. Adrian ingin tahu, apakah Tisha sudah tahu kepulangan Yudha atau belum. Baru setelah ke empat kalinya Tisha mengangkat telponnya

“Ya Ian..maaf aku baru kelar meeting. HP juga aku silent tadi. Aku sibuk banget hari ini.”

“Oh maaf Tish, aku cuma mau ngajak kamu makan siang bareng, tapi kalau kamu sibuk, besok aja deh.” Adrian mengurungkan niatnya untuk menanyakan perihal Yudha. Dia yakin Tisha belum mengetahuinya. Dia juga tidak ingin mengganggu konsentrasi Tisha dengan cerita kepulangan Yudha.

“Sipp deh. Udah dulu ya, aku masih ada kerjaan.”

Hari itu lagi-lagi Tisha tenggelam dalam urusan pekerjaannya. Tanpa terasa senja telah tiba, dilihatnya jam di tangan kirinya. Lima lebih sepuluh menit. Ia menyenderkan badannya ke kursi dan menghela napas.

“Fyyuhh..kelar juga hari ini. Jadi nggak perlu lembur.” Tisha baru ingat sedari Adrian telpon tadi, ia tidak mengecek HP nya lagi. Ada notifikasi 2 missed call, dari nomor yang sama. Nomor baru, Tisha mengernyitkan kening. Berpikir siapa yang tadi menelponnya. Untuk memastikan apakah hal yang penting atau tidak, Tisha mencoba menghubungi nomor itu. Satu kali. Dua kali. Tidak diangkat.

“Siapa ya ? ah entahlah nanti kalau penting pasti telpon lagi.” batin Tisha

Tisha bergegas membereskan mejanya. Untuk memastikan pak Nomo sudah sampai, Tisha mengirim pesan pada pak Nomo. Tetapi pak Nomo menjawab kalau tidak bisa menjemput karena mobil masuk bengkel. Tisha kesal kenapa pak Nomo tidak memberitahunya sejak siang. Dengan langkah lesu Tisha keluar dari ruangannya menuju lift.

Keluar dari gedung dengan lima lantai itu, Tisha melihat ke arah langit, kemerahan senja menghiasi langit kota sore itu. Tisha tersenyum lalu menghela napas, melangkahkan kakinya menuju jalan depan untuk mencari taksi.

Malam ini Adrian mengajak Yudha untuk ngopi bareng. Dari pertemuan itulah Adrian tahu alasan Yudha pergi ke Macau. Dan itu bukan untuk menghindari Tisha. Adrian memintanya untuk segera menemui Tisha, akan tetapi Yudha hanya terdiam.

“Yudh..aku sudah ditolak. Sekarang giliranmu. Percayalah, Tisha pasti bisa memaklumi alasanmu. ” Adrian menepuk pundak Yudha dan berjalan meninggalkan Yudha di café malam itu.

*8*

Yudha masih sibuk dengan pekerjaannya. Rancangan pembangunan jembatan itu harus ia selesaikan dalam waktu tiga hari ke depan. Setelah itu baru dia bisa bersantai meskipun sejenak. Bayangan Tisha sesekali muncul dalam benaknya. Ingin dia menemui tapi Yudha merasa belum waktunya.

Seperti rencana hari kemarin, Adrian mengajak Tisha makan siang bareng. Mereka makan siang di warung soto Lamongan. Tisha yang memilih tempat itu, sudah lama tidak makan di situ.

“Lama enggak makan di sini aku Ian?”

“Pantesan kamu ngajaknya ke sini.”

“Kenapa, enak kok di sini. Terakhir makan di sini tuh pas kita awal ketemu lagi. waktu itu aku kesini sama Yud…” mulut Tisha tertahan ketika hendak menyebut nama Yudha.

“Kenapa Tish?”

“Enggak kok, lama benget aja kayaknya aku enggak makan di sini.” Tisha tersenyum kemudian menyeruput es jeruk di depannya.

“Tish..kamu sudah tahu?”

“Tahu apa Ian? “ Tisha masih sibuk mengaduk-aduk es jeruknya dengan sedotan.

“Tahu kalau…” Kini mulut Adrian yang tertahan. Tisha menatap Adrian, menunggu apa yang akan dikatakan Adrian.

“Kalau..aku yang bakal bayar makannya nanti.” Adrian ngasal melanjutkan kalimatnya

“Hahaha…jelas dong. Kan kamu  yang ngajak, lagian kan kamu boss Ian.” Tisha tertawa melihat kelakuan lelaki yang pernah menyakitinya ini. Adrian mengurungkan niatnya untuk memberitahu Tisha, mungkin nanti Yudha akan menemui atau memberi tahu Tisha sendiri. Mereka hanyut dalam obrolan makan siang itu.

Ketika Tisha masih membereskan beberapa file di mejanya, tiba-tiba Lusi, kakaknya menelpon kalau sore ini pak Nomo tidak bisa menjemputnya karena ijin pulang cepat. Salah satu kerabatnya ada yang meninggal. Tisha mendengus mendapati dia harus pulang sendiri lagi. Apa mau dikata.

Dia melangkahkan kakinya menuju lift, melewati lobby. Melemparkan senyuman untuk satpam di lobby. Menuruni tiga anak tangga lalu melangkahkan kaki ke jalan depan. Sore itu, langit abu-abu. Sepuluh…lima belas menit ia menunggu tapi tidak ada satu pun taksi yang didapatnya. Hingga akhirnya sebuah mobil CRV hitam berhenti sekitar 10 meter di depan Tisha berdiri. Mobil itu lalu berjalan mundur. Berhenti tepat di depannya.

Menyadari ada mobil yang berhenti di depannya Tisha berpikir siapa gerangan. Diperhatikannya mobil itu. Bola matanya membesar, menyadari mobil ini tidak asing baginya. Seorang lelaki membuka kaca sebelah kiri. Lelaki dengan kemeja biru donker, menatapnya. Alangkah terkejutnya Tisha mendapati orang didepannya itu kini. Cukup lama Tisha terdiam menatap lelaki itu, tidak ada kata yang keluar dari mulutnya. Tanpa terasa justru air mata yang menuruni kedua pipinya.

“Butuh tumpangan Neng?” tanya lelaki itu seraya tersenyum

(bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline