Lihat ke Halaman Asli

septiya

jarang nulis lebih sering mengkhayal

Serendipity [8]

Diperbarui: 17 Juni 2015   13:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1421381105392434543

ilustrasi : un pepin

Cerita Sebelumnya : Serendipity [7]

#Mon Parapluie

Tisha terdiam, merasa detik seperti berhenti ketika melihat wajah lelaki di dalam mobil yang tersenyum . Angin dingin mengalir mengenai wajahnya.

“Neng..butuh tumpangan?” Yudha mengulangi pertanyaannya, masih sambil tersenyum.

Mendengar itu Tisha tersadar, diusapnya air mata yang  sudah meluncur bebas di atas pipinya.

“Ayolah…aku antar sampai rumah dengan selamet deh. Mumpung aku lagi baik hati nih.”

Tisha masuk ke mobil hitam itu tanpa berkata apa-apa. Mereka hanyut dalam diam. Tisha masih shock dengan yang ditemuinya, sekarang dia satu mobil dengan lelaki yang tiba-tiba menghilang delapan bulan yang lalu. Yudha pun masih diam. Dia tahu, Tisha pasti marah dengannya.

Yudha memilih menghidupkan radio. Lagu mulai mengalun Waiting for your call, common sick, common I'm angry, common I'm desperate for your voice. “Kemana pak Nomo, kok nggak jemput?” Yudha mencoba membuka obrolan. Listening to the song we used to sing. In the car do you remember. Tisha masih diam. Butterfly, Early summer It’s playing on repeat Just like when we would meet. Like when we would meet. Enggan menjawab pertanyaan Yudha, bahkan menoleh saja tidak. “Kamu grogi ya satu mobil sama cowok ganteng, kok diem gitu dari tadi?” Yudha masih berusaha mencairkan suasana.

Yudha spontan mematikan radionya “hah lagu apa sih ini.” Tisha langsung memencet tombol power radio itu lagi. Yudha memandang Tisha dengan bingung. Tidak pernah dia sediam ini. Akhirnya, Yudha memilih menepikan mobilnya. Berhenti. Lalu dipandangnya perempuan di sampingnya itu.

“Tish..aku tahu kamu marah . Aku minta maaf”ucap Yudha lirih

Tisha menoleh, matanya berkaca-kaca. Hampir tumpah lagi air matanya. Sementara bibirnya masih kelu untuk mengucap sepatah kata pun. Dipandangnya dalam-dalam lelaki di sampingnya itu. Empat puluh lima menit perjalanan akhirnya mereka lewati hanya dengan diam. Tisha langsung turun begitu mobil Yudha berhenti di depan rumah.

*8*

Keesokan harinya Yudha menjemput Tisha. Kedatangan Yudha membuat kaget Lusi.

“Loh kamu Yud? Kapan balik?”

“Belum ada seminggu di sini. Tisha sudah siap?”

Tisha keluar dan kaget melihat Yudha datang pagi itu.

“Aku bareng pak Nomo hari ini. Kemarin kan kamu nggak bilang mau jemput.”

“Pak Nomo hari ini masih ijin Tish, kamu bareng Yudha aja.”

Yudha tersenyum mendengar ucapan Lusi yang artinya mau tidak mau memaksa Tisha untuk berangkat bersamanya. Tisha sedikit kesal terjebak dalam situasi dimana dia tidak punya pilihan. Akhirnya dia masuk ke mobil Yudha dengan wajah sedikit cemberut.

Seperti kebiasaan sebelumnya, Yudha menepikan mobilnya ketika sampai di penjual bubur ayam langganannya. Pagi itu, Tisha menyusul turun dari mobil, lima menit setelah Yudha memesan.

“Kamu mau ?” tanya Yudha

“Pak, satu ya.” Tisha memesan sendiri, tanpa menghiraukan pertanyaan Yudha.

“Jangan diem gini dong Tish, aku jadi salah tingkah mau ngapain.” Tisha tersenyum melihat mimik muka lelaki di depannya yang terlihat memelas itu.

“Dih malah diketawain. Aku jelasin ya, dulu aku ketrima di perusahaanku sekarang ini, bapakku seneng banget. Perusahanku yang di sini cuma kantor cabang, pusatnya ada di Macau. Sebelum meningggal bapakku pernah punya harapan supaya aku bisa bekerja di kantor pusat. Itulah kenapa aku mati-matian supaya bisa dapat promosi di sana. Salah satu untuk mencapai sana, aku harus ikut dalam proyek yang digarap di sana. Dulu itu aku dapat tawaran, aku sadar itu keputusan sulit. Kalau aku ke Macau, artinya aku jauh dari kamu. Tapi kalau aku tetap di sini, kesempatan kedua mungkin tidak ada. Akhirnya aku putuskan untuk mengambil kesempatan itu. ”

“Kenapa kamu pergi nggak bilang?”

“Hehe..sebenarnya aku tahu itu salah. Hanya saja, aku tidak mau membuatmu menunggu. Aku tidak tahu berapa lama aku di sana. Untuk itu aku pergi secara diam-diam.”

“Kepedean, siapa yang mau nungguin kamu.”

“Masak sih kamu nggak nungguin? Kemarin siapa ya yang nangis?”

“NGGAK.”

Yudha tertawa melihat Tisha yang mulai sewot karena kejailannya. Tisha mulai menyendok bubur yang sudah ada di depannya. Dia terdiam memahami penjelasannya Yudha tadi. Dia merasa pilihan Yudha itu tepat. Tentu dia akan melakukan hal yang sama, jika dia ada di posisi Yudha. Harapan bapaknya, tentu bapaknya akan bahagia ketika melihat Yudha bisa sukses.

“Lalu..kenapa kamu balik ke sini?

“Proyek di Macau itu sudah selesai, sementara aku diminta membantu menyelesaikan proyek pembangunan jembatan di sini. Makanya aku balik ke sini.”

“Setelah itu kamu balik ke Macau lagi?”

“Kenapa? Nggak rela ya aku pergi lagi ?”

“Aku sudah selesai makannya, kamu yang bayar.” Tisha langsung berjalan menuju mobil

“Ya ampun Neng, jutek amat sih.”

*8*

Dua minggu berlalu, pekerjaan yang harus dirampungkan Yudha sudah selesai. Sore itu Yudha sengaja menjemput Tisha. Akhir pekan, dia ingin mengajak Tisha makan malam. Yudha sudah menunggu di depan ketika Tisha keluar dari kantornya.

“Kok nggak bilang? Kalau mau jemput?”

“Sebenernya nggak niat sih, tapi apa mau dikata, terpaksa harus kesini.”

“Kepaksa? Ya udah sih pulang aja sana.”

“Nanggung, dah sampai sini juga, ayolah buruan naik. Kita cari makan dulu.”

Yudha mengarahkan mobilnya ke sebuah warung makan di pinggir jalan. Nasi goreng.

“Kamu sering makan di sini? tanya Tisha seraya melepas seatbelt nya.

“Huum, kenapa? Kamu pasti ngiranya bakal aku bawa ke restoran ya? Nggak kalah enak kok sama nasi goreng di restoran.”

“Dihh…siapa yang mikir kaya gitu.”

Warung makan itu semakin malam semakin ramai. Dilihat dari pakaiannya, sebagian besar pengunjungnya adalah pekerja kantor yang mampir untuk makan malam di tempat itu. Tisha mengamati mereka.

“Rame ya Yudh…pasti enak.”

“Makanya aku ajak kamu ke sini.”

“Kapan-kapan kita wisata kuliner yuk. Kamu pasti tahu banyak tempat makan enak di kota ini.”

“Ngajak aku ngedate nih ceritanya.”

“Aku serius ih!”

“Gampang deh, tapi nggak dalam waktu dekat ini.”

Tisha yang sibuk mengaduk-aduk minuman jeruk hangat mengangkat dagunya mendengar ucapan Yudha.

“Kenapa?”

Yudha menghela napasnya. Menatap dalam perempuan di depannya. Sementara Tisha menaikkan alis, bingung dengan sikap Yudha.

“Inilah kenapa aku ajak kamu ke sini. Aku lusa harus berangkat ke Macau lagi. Kerjaan yang membuatku kembali ke sini sudah selesai.”

“Lusa?”

Yudha menggangguk. Dia tidak mau mengulang kesalahannya lagi yang pergi tanpa kabar seperti yang dulu. Nasi goreng yang di pesan sudah siap. Dua porsi nasi goreng sea food itu mengepul.

“Sepertinya enak, makan yuk.” Tisha mengambil sendok dan garpu seraya mencium aroma nasi goreng depannya.

Tidak ada komentar dari Tisha tentang kepergian Yudha. Mereka menghabiskan nasi goreng sambil ngobrol dan tertawa bersama. Hingga tanpa terasa mereka sudah satu setengah jam di tempat itu. Bergegas ke mobil untuk pulang.

*8*

Di dalam mobil, di depan rumah, Tisha mengambil secarik note dari dalam tasnya.

“Apa arti  musim yang akan datang ini? Tisha menyodorkan note itu kepada Yudha. Yudha menoleh.

“Sekarang bukannya sudah ganti musim ?”

“Jadi? Payung itu sudah tidak bisa aku pakai lagi? Padahal aku sangat butuh” Tisha menunduk suaranya lirih

“Payung itu tetap memayungimu saat hujan atau panas.”

“Kenapa?”

c’est la fonction de parapluie.”

“Ha? Apaan?” Yudha tertawa melihat ekspresi Tisha yang kebingungan.

*8*

Di bandara

Yudha menggeret kopernya yang berwarna hijau. Tisha berjalan di sampingnya. Jam masih menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Sudah waktunya Yudha untuk masuk. Yudha mengambil secarik kertas dari sakunya. Kali ini sticky note itu berwarna biru.

“Ini PR mu.” Tisha mengernyitkan dahi ketika membaca tulisannya

“Aku nggak tahu artinya.”

“Itulah kenapa aku sebut PR.”

“Kamu hantu.” Yudha tersenyum mendengar ucapan yang keluar dari mulut Tisha itu.

“Hantu yang ganteng kan? Aku senang dengan pertemuan kita yang tidak sengaja di kereta dulu, Serendipity" balas Yudha menggoda sambil tersenyum

Tisha lagi-lagi hanya menatap tingkah konyol lelaki di sampingnya itu. Kemudian ia ikut tersenyum. Akhirnya, lambaian tangan menjadi salam perpisahan pagi itu. Musim sudah berganti. Tapi payung akan tetap memayungi langkah kaki.

N’importe qu’il pleut ou pas, portes ton parapluie où que tu ailles. Attends-moi

(FIN)

* note :

-Mon parapluie : payungku

-c'est la fonction de parapluie : Itulah fungsinya payung

-N’importe qu’il pleut ou pas, portes ton parapluie où que tu ailles. Attends-moi : Tidak peduli hujan atau tidak, bawalah payung kemanapun kau pergi. Tunggu aku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline