Lihat ke Halaman Asli

Virus Mahasiswa Anti Ormek

Diperbarui: 14 Oktober 2024   10:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri penulis

Akhir-akhir ini ramai kembali penyeberan virus "Anti Ormek" yang konon kabarnya dihembuskan oleh mahasiswa NETRAL kepada mahasiswa baru dengan isu-isu yang tidak benar tentang ormek, supaya para maba enggan untuk berproses di organisasi mahasiswa ekstra kampus.

Di era konsolidasi demokrasi saat ini justru iklim di ranah mahasiswa seakan kembali ke masa orde baru, dimana mahasiswa "back to campus". Namun kini indikatornya bukan karena tekanan rezim yang represif, melainkan terlena oleh kemudahan yang ada saat ini dan pencarian legalitas pendidikan hanya untuk persaingan karir dan prestige materialisme saja sehingga secara tidak langsung telah membentuk pragmatisme mindset mahasiswa untuk "back to campus and reach your goal". Walaupun dalam konteks tertentu bisa jadi dalam satu kampus hanya dibeberapa fakultas maupun secara lebih kecil yaitu pada program studi saja narasi anti ormek terdengar lebih keras dan lantang, namun secara umum anti ormek sudah menjalar di seluruh kampus di indonesia.

Benang merah dari kesamaan kondisi yang terjadi di iklim mahasiswa saat ini adalah kurangnya kesadaran mahasiswa akan pentingnya berorganisasi, singkirkan sejenak alibi tentang hak asasi, karena disini kita akan berbicara hakikat mahasiswa yang sebenarnya, melibihi arti daripada cita-cita pribadi mahasiswa itu sendiri.

Mengutip kalimat dari Mba Najwa Shihab

"Belajar tentu  keharusan yang tidak boleh diabaikan. Namun merugilah jika belajar disempitkan semata perkuliahan tanpa berorganisasi karena disitulah proses pendewasaan berada"


Ada banyak organisasi mahasiswa ekstra kampus (ormek) dimana indonesia sendiri terdapat banyak ormek-ormek yang sudah hidup dan berjuang mengawal sejarah pengelolaan negara, dengan beragam ideologi dan cita-cita yang diusung. Sebut saja HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), LMND (Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi), GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dan lain-lain.

Namun satu hal yang sepantasnya kita pahami, bahwa semua ormek yang ada di kampus-kampus tersebut memiliki cita-cita besar yakni membangun negara indonesia menjadi lebih baik lagi, sesuai yang tersemat pada UUD 1945. Melalui kader-kadernya, sudah banyak lahir tokoh-tokoh penting bangsa yang dulunya berkecimpung belajar di organisasi ekstra kampus, organisasi mahasiswa ekstra kampus sendiri hampir selalu mewarnai konstelasi panggung politik di kampus, melalui kadernya untuk duduk di pos-pos leading sektor. Namun, kini keberadaan Ormek tampak kurang diminati, bahkan keberadaanya dipandang sinis dengan beragam alasan klise "terlalu Politis". Kalau kita amati secara khusus untuk kemudian dikritisi dan disikapi apakah memang keberadaannya wajar dan sesuai dengan kebutuhan mahasiswa di era reformasi sekarang ini atau bahkan ini wacana manipulative-destruktif dari segelintir orang yang memang tidak menghendaki kebaikan dalam pembentukan karakter generasi terdidik bangsa karena sampai hari ini setau saya belum ada kajian ilmiah untuk membahas hal ini, seyogyanya untuk sementara ini tidak dipermasalahkan dengan banyaknya opini opini mahasiswa di internet agar dapat dijadikan referensi dasar tulisan-tulisan mengenai fenomena anti ormek tersebut.

Selayaknya gerakan anti yang lain seperti pada kontestasi pilkada kabupaten gresik 2024 saat ini yaitu "Kawal Kotak Kosong dan Anti 1 Paslon", dengan objektif kita melihat bahwasannya hal tersebut dilatarbelakangi oleh tidak puasnya sebagian elemen masyarakat maupun kepentingan yang menimbulkan rasa ketidakpuasaan atas kinerja dari calon petahana tersebut. Dalam konteks interest grupnya adalah mahasiswa anti ormek dan kejadian disekitarnya yang menimbulkan rasa ketidakpuasan adalah dominasi dan hegemoni ormek dalam pemerintahan kampus ataupun kasus yang berbeda yaitu dinamika moral antara mahasiswa ormek dan non ormek, yang dimana mahasiswa non ormek merasa dikalahkan secara intelektual juga pengalaman berorganisasi sehingga memunculkan antitesa bagi barisan kaum intelektual ormek dari barisan non ormek yang sakit hati.

Miris rasanya jika mendengar apabila mahasiswa berbicara politik, apalagi konteksnya kampus bukan partai maupun negara seperti yang diidentikan oleh media online maupun televisi bahkan tidak sedikit sebagian mahasiswa berkelakar tidak ada pentingnya mahasiswa berpolitik, yang penting belajar dan upgrade ijazah. Tidak ada salahnya memang mahasiswa fokus untuk mengejar prestasi akademik (itu bagi yang berprestasi) apalagi mahasiswa yang jarang masuk kuliah tapi ikut-ikutan anti ormek hal tersebut menjadi fakta yang menggelitik bagi saya untuk dibahas, tapi yang perlu di ingat bahwasannya sampai kapanpun kita akan menjadi subjek dan objek politik, politik tidak bisa kita hindari meskipun kita berkata tidak. 

Seorang penyair jerman yang juga dramawan, sutradara teater dan marxis yaitu Bertolt Brecht berkata:

"Buta yang terburuk adalah buta politik. Dia tidak mendengar, tidak berbicara dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, semua tergantung pada keputusan politik." lanjutnya beliau berkata "Orang yang buta bangga dan membusungkan dadanya mengatakan bahwa ia membenci politik. Si dungu tidak tahu bahwa dari kebodohannya dalam politik akan melahirkan pelacur, anak terlantar, dan pencuri terburuk dari semua pencuri, politisi buruk, rusaknya perusahaan nasional dan multinasional yang menguras kekayaan negeri." 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline