Dengan ketegangan yang terus meningkat selama beberapa dekade terakhir, Laut Cina
Selatan (LCS) telah lama menjadi salah satu wilayah paling terkenal di dunia. LCS merupakan
kawasan yang penting secara strategis bagi negara-negara di Asia-Pasifik dan dunia pada
umumnya, berkat posisinya sebagai jembatan internasional yang menghubungkan Samudra
Pasifik dan Samudra Hindia serta limpahan sumber daya alamnya. Namun, kawasan ini juga
menyimpan potensi konflik yang serius, yang mengakibatkan sengketa teritorial antara
beberapa negara, termasuk Tiongkok, Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei. Kepentingan
ekonomi dan strategis, ditambah dengan peran kekuatan seperti Amerika Serikat, membuat
ketegangan Laut Cina Selatan lebih kompleks daripada perselisihan wilayah. Konflik ini tidak
hanya memengaruhi negara-negara dengan klaim yang kuat, tetapi juga stabilitas kawasan
Asia-Pasifik dan ekonomi global. Esai ini akan membahas latar belakang konflik di Laut Cina
Selatan, dimensi geopolitiknya, dan tantangan yang dihadapi, baik bagi stabilitas dunia maupun
bagi negara-negara yang tersisa. Konflik ini tidak hanya berdampak pada negara-negara yang
memiliki klaim kuat, tetapi juga stabilitas kawasan Asia-Pasifik dan ekonomi global.
Latar Belakang Ketegangan Laut Cina Selatan
Konflik di Laut Cina Selatan telah menjadi isu terpenting di Asia Tenggara, terutama sejak awal tahun 1970-an. Laut Cina Selatan yang membentang seluas kurang lebih 3 juta kilometer persegi ini terletak di antara pulau Cina dan Taiwan di utara serta negara-negara Asia Tenggara di selatan dan barat. Banyak negara, termasuk Taiwan, Malaysia, Brunei, Vietnam, Cina, dan Filipina, mengklaim wilayah di kawasan ini berdasarkan berbagai kriteria hukum dan sejarah. Cina menggunakan argumen sejarah untuk mendukung klaimnya, sedangkan negara-negara lain mengandalkan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Perdata dan Politik (UNCLOS) untuk mendukung klaim geografis mereka. Dengan dibangunnya infrastruktur militer oleh Cina dan kapal-kapal nelayan Cina di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di dekat Natuna, ketegangan terus meningkat. (Hidayat dkk., 2024)
Dimensi Geopolitik Laut Cina Selatan
Dimensi geopolitik Laut Cina Selatan menekankan hubungan yang kompleks antara negara-negara yang bertikai dengan negara-negara kuat seperti Tiongkok dan Amerika Serikat, dengan implikasi global yang lebih luas. Sebagai jalur perairan yang strategis, Laut Cina Selatan (LCS) menghubungkan ekonomi utama Asia dengan pasar global dan berfungsi sebagai tempat penyimpanan material yang terkait dengan laut, seperti perikanan, minyak, dan gas. Laut Cina Selatan sangat penting dalam konteks geopolitik karena merupakan nilai tukar utama yang lebih dari tiga kali lipat rata-rata global, dengan nilai perdagangan lebih dari $3 triliun per tahun. Selain itu, kekayaan sumber daya alam di dasar laut yaitu, 12% dari ikan dan cadangan minyak dunia serta gas alam yang signifikan meningkatkan ketegangan regional karena negara-negara seperti Cina, Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei terus-menerus mengklaim wilayah mereka (Geopolitical Monitor, 2023).
Perselisihan teritorial di Laut Cina Selatan dimulai sejak lama, dengan negara-negara yang terus berupaya melindungi berbagai pulau dan karang, yang tidak hanya memiliki nilai strategis tetapi juga memiliki kualitas air yang tinggi. Periode panjang ketegangan ini ditandai dengan ekspansi Cina, yang membangun pulau buatan di daerah yang sedang diserang dan memengaruhi negara-negara lain dengan tingkat literasi yang tinggi, termasuk penggunaan kekuatan militer dan kapal penjaga pantai (Hidayat dkk., 2024). Salah satu contoh kejadian ini terjadi pada tanggal 5 Agustus 2023, ketika warga negara Filipina yang sedang melakukan perjalanan melalui wilayah Karang Spratly ditemani oleh warga negara Tiongkok. Ketegangan meningkat ketika kapal perang Tiongkok menggunakan meriam air untuk merendahkan kapal- kapal Filipina. Artikel ini menyoroti keterlibatan Tiongkok dalam konflik tersebut dan memperjelas bahwa Tiongkok menggunakan kekuatan maritim (seperti kapal perang biru) yang tidak terkait langsung dengan mereka tetapi memiliki hubungan dekat dengan Tiongkok (Geopolitical Monitor, 2023).
Peran Kekuatan Global Peristiwa di Laut Cina Selatan juga melibatkan kekuatan
internasional, seperti Amerika Serikat, yang membela beberapa negara di kawasan tersebut
melalui Operasi Kebebasan Navigasi (FONOPs) dan Perjanjian Pertahanan Bersama dengan
Filipina. Amerika Serikat, yang sangat penting untuk menjaga stabilitas regional dan
kecukupan navigasi, sering melakukan konfrontasi dengan Tiongkok yang bertujuan untuk memperkuat dominasi maritimnya di kawasan ini (Moody dkk., 2024). Meskipun tingkat konflik di Laut Cina Selatan masih belum diketahui, ketegangan ini mengindikasikan adanya potensi eskalasi yang dapat merusak stabilitas kawasan. Konfrontasi militer dapat terjadi akibat provokasi, kebuntuan diplomatik, atau masalah internal yang tidak ditangani. Oleh karena itu, sangat penting untuk menerapkan langkah-langkah diplomatik, pengembangan kepercayaan, dan kepatuhan terhadap perjanjian internasional seperti Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Sipil dan Politik (UNCLOS) untuk menyelesaikan sengketa secara lebih menyeluruh (Yusa Djuyandi dkk., 2021). Laut Cina Selatan tidak hanya berarti perselisihan teritorial; tetapi juga mengacu pada dinamika geopolitik yang lebih luas yang menekankan
pentingny ekonomi, keamanan, dan politik dari kekuatan regional dan internasional utama. Mengingat pentingnya kawasan ini bagi perdagangan internasional, akses ke air, dan stabilitas kawasan, diplomasi dan perdamaian melalui kerja sama multilateral dan dialog internasional sangat penting untuk mengatasi situasi di Laut Cina Selatan (Geopolitical Monitor, 2023).
Dampak Konflik Laut Cina Selatan
Konflik di Laut Cina Selatan memiliki dampak negatif yang signifikan terhadap stabilitas regional dan global serta terhadap negara-negara yang saat ini sedang berperang. Salah satu faktor utamanya adalah peningkatan jumlah militer di wilayah yang dimaksud. Tindakan tegas Tiongkok, seperti pembangunan pulau-pulau buatan dan peningkatan kehadiran militer, telah menjadi sasaran tanggapan dari negara-negara tetangga, termasuk Indonesia, yang ditandai dengan klaim perwakilan Tiongkok terkait wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) mereka. Pelanggaran internal oleh kapal penangkap ikan dan penjaga pantai Tiongkok di perairan Natuna secara bertahap memperbaiki situasi, sehingga mengakibatkan ketegangan yang dapat muncul dalam konflik jika tidak ditangani dengan baik (Yusa Djuyandi dkk., 2021).
Selain itu, dari perspektif ekonomi, ketidakpastian dan ketegangan di Laut Cina Selatan dapat berdampak signifikan pada perdagangan internasional. Hampir setiap gangguan berpotensi merugikan ekonomi global karena sengketa perdagangan dunia yang sudah
berlangsung lama. Sebagai salah satu perhatian utama kawasan ini, negara-negara juga mengalami kesulitan dalam mengidentifikasi unsur-unsur laut yang terdapat di Laut Cina
Selatan, seperti cadangan gas dan minyak (Moody dkk., 2024). Selain itu, konflik ini juga berdampak pada hubungan diplomatik antarnegara. Negara-negara ASEAN harus merundingkan posisi mereka di tengah tekanan antara Tiongkok dan Amerika Serikat, yang keduanya memiliki kepentingan strategis di Laut Cina Selatan. Hal ini dapat menyebabkan terputusnya kerja sama regional dan mengurangi efektivitas ASEAN sebagai organisasi dalam menangani isu-isu regional (Yusa Djuyandi dkk., 2021). Meskipun Indonesia bukan merupakan penggugat resmi negara tersebut, namun Indonesia harus memperkuat posisi diplomatiknya untuk melindungi kepentingan nasionalnya dan menjaga stabilitas di kawasan (Sulistyani dkk., 2021).
Kesimpulan
Konflik di Teluk Cina bukan hanya sengketa wilayah; tetapi juga melibatkan dinamika
geopolitik yang lebih luas. Peristiwa tersebut telah menunjukkan betapa pentingnya wilayah
ini, baik dalam konteks ekonomi, politik, maupun lingkungan. Ada banyak klaim yang tidak
sepenuhnya menjawab kompleksitas masalah ini, dan bahkan jika upaya diplomatik dilakukan
terus-menerus, solusi permanen masih sulit dicapai. Selain dampak tidak langsung pada negara-negara yang terkena dampak, konflik ini berpotensi merusak stabilitas kawasan Asia-
Pasifik, yang sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi global. Tindakan agresif beberapa
negara, seperti pembangunan pulau buatan oleh Tiongkok dan pelanggaran wilayah oleh negara-negara pengklaim lainnya, telah meningkatkan jumlah militer yang dapat menyebabkan konflik. Selain itu, eksploitasi sumber daya laut di wilayah tersebut menimbulkan risiko bagi kerja sama ekonomi regional dan global. Hal ini semakin memperburuk situasi, menyoroti pentingnya Laut Cina Selatan sebagai perdagangan utama dan permukaan laut yang krusial. Jumlah militer yang dapat memulai pertempuran meningkat akibat aktivitas agresif beberapa negara, seperti pembangunan pulau buatan oleh Tiongkok dan pelanggaran wilayah negara pengklaim lainnya. Lebih jauh, kerja sama ekonomi regional dan internasional terancam akibat eksploitasi sumber daya laut di wilayah tersebut. Hal ini memperburuk keadaan dan menegaskan betapa pentingnya Laut Cina Selatan sebagai jalur perdagangan utama dan permukaan laut yang penting.