Lihat ke Halaman Asli

Septi Cahyanti

Mahasiswi Universitas Airlangga

Menilik Keadilan Era Digital: Ruang Baru dalam Pengungkapan Kejahatan Seksual

Diperbarui: 2 Juni 2022   09:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dewasa ini sosial media  telah menjadi tempat untuk menampung cerita korban kekerasaan seksual yang dapat menimbulkan suatu fenomena tersendiri yang dirasa cukup unik. Fenomena ini telah dipicu oleh berbagai gerakan tagar untuk saling memviralkan agar kasus pelecehan seksual dapat segera ditangani oleh lembaga penegak hukum yang berwenang.

Meskipun begitu tak jarang rendahnya pelaporan kekerasan seksual menjadi bukti korban enggan untuk membawa kasusnya ke ranah hukum, bahkan tak jarang laporan yang tengah berjalan langsung di cabut oleh korban dengan dalih bahwa sudah diselesaikan secara kekeluargaan sehingga pihak berwenang tidak sampai mengusut tuntas kasusnya secara mendetail. Hal ini tak jarang dipengaruhi oleh rasa ketakutan korban yang mendapatkan stigma negatif dan pengalamannya yang bahkan dianggap sebagai aib baik dari keluarga maupun lingkungan sekitar.

Lain dari pada hal itu terdapat beberapa kasus yang pernah di bawa pada jalur hukum nyatanya tidak berpihak pada korban justru malah memberikan trauma ganda terhadap kekerasaan seksual seperti pada saat korban melaporkan tentang kekerasan seksual yang dialaminya namun polisi justru meminta korban untuk mencari barang bukti serta melakukan reviktimasi, di mana hal ini seharusnya sudah menjadi tugas polisi namun justru membuat bimbang bagi para korban pencari keadilan. Selain itu penanganan kasus yang dinilai cenderung lambat dan rumit juga kerap membuat korban yang kondisi mentalnya belum stabil menjadi semakin parah bila harus dihadapkan dengan berbagai regulasi yang panjang dan melelahkan. Memenangkan kasus pelecehan seksual melalui jalur hukum adalah sebuah perjalanan yang panjang dan tidak bisa dipastikan apakah dapat dimenangkan atau tidak.

Tidak jarang hal tersebut mengakibatkan kasus kekerasan seksual semakin menguap dan menjadikan Indonesia pada saat ini berstatus darurat kekerasan seksual yang membutuhkan perhatian serius. Jika ditinjau dari landasan yuridis, Indonesia memiliki tiga UU terkait penghapusan kekerasan seksual antara lain Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang terdapat pada pasal 294 ayat (2), UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dan UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, namun dari adanya peraturan tersebut tak juga membuat kasus pelecehan seksual di Indonesia menurun bahkan semakin bertambah signifikan sepanjang tahun 2021. Terdapat 1.687 kasus/korban pada Januari–Juni 2021 atau naik 57% dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu. Berdasarkan pada kasus yang telah didata Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), terdapat 9.057 korban dari 8.714 kasus. Sedangkan pada Forum Pengada Layanan (FPL) melalui sistem pendokumentasian kasus telah menerima 806 laporan kasus/korban pelecehan seksual.

Terlebih adanya Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi elektronik (UU ITE), hak perlindungan terhadap data pribadi kini telah dijamin dan terdapat larangan terhadap tindakan yang merugikan pemilik data pribadi. Namun demikian di dalam UU ITE tidak terdapat aturan yang secara khusus melindungi korban kekerasan seksual, sehingga tidak jarang terdapat pasal-pasal yang ada justru digunakan untuk mengkriminalisasi korban. Sehingga dalam hal ini kita masih dihadapkan dengan adanya undang-undang yang belum diperbaharui dalam penanganan kasus pelecehan seksual, jadi akan menjadi suatu hal yang lumrah dan masuk akal apabila masyarakat lebih memilih untuk melemparkan setiap pengalaman traumatis mereka ke media sosial, dan menggantungkan hal tersebut kepada empati netizen dengan harapan bisa memperoleh dukungan dan menegakkan hukum sosial berdasarkan cerita yang telah di tuliskan lewat postingan yang diunggah, Hal tersebut juga dapat memberikan ruang gerak terbatas bagi aparat untuk bisa menegakkan keadilan bagi penyintas. Terlebih pendidikan yang adil terkait dengan kesetaraan gender masih belum menjadi prioritas untuk bangsa Indonesia ini, itulah yang menjadikan banyak aparat penegak hukum memberikan metode yang dianggap kurang proaktif terhadap penyintas pelecehan seksual. Di balik kekuatan media sosial dalam menampung pengalaman traumatis masyarakat terhadap pelecehan seksual juga ada risiko terbesar ketika cerita pelecehan disebarkan begitu saja di media sosial ialah bahwa kita sebagai pengguna tidak mengetahui apakah cerita tersebut valid atau tidak. Maka perlu kehati-hatian untuk bisa mendeteksi hal tersebut merupakan fakta yang sebenarnya di balik kasus yang telah diceritakan sehingga tidak terjadinya playing victim yang merupakan sebuah risiko ketika kasus pelecehan seksual dilemparkan begitu saja ke media sosial

Meningkatnya kasus kekerasaan seksual pada era digital merupakan suatu keprihatinan bagi kita semua. Ada beberapa kasus pelecehan seksual yang telah terjadi beberapa dekade ini dan telah menyita banyak perhatian publik diantaranya adalah kekerasan seksual yang menyebabkan korban bunuh diri di pusara ayahnya dengan meneguk minuman red velvet yang dicampur dengan sianida, hal ini diketahui pada unggahan salah satu teman korban yang menyebutkan bahwa kematian korban merupakan buntut panjang dari masalah kekerasaan seksual yang pernah dialaminya. Tak hanya itu kasus pelecehan seksual juga terjadi di Kota Bandung yang melibatkan seorang oknum guru pesantren yang memperkosa belasan santriwatinya hingga hamil dan melahirkan.

Sungguh sangat ironis lembaga pendidikan yang seharusnya bisa dijadikan ladang pencari ilmu bagi generasi bangsa malah di buat untuk melancarkan nafsu birsahi seorang guru pesantren kepada santriwatinya, dari hal ini kejahatan seksual bukan ditimbulkan dari cara berpakaian seorang perempuan yang tampak seksi namun kejahatan seksual bersarang sesungguhnya pada otak dan nurani yang dibutakan oleh suatu kesesatan yang mengorbankan banyak orang,

Adapun faktor yang bisa menjadi akar dari permaslahan seksual yang pertama adalah, faktor individu yang merupakan bagian dari aspek psikologi pelaku, dan kedua, aspek sosial yang merupakan aspek yang dianut oleh masyarakat. Oleh karena itu pencegahan terjadinya pelecehan seksual dapat dilakukan melalui perubahan mindset dalam berpikir bahwa individu maupun masyarakat yang dilakukan baik melalui lembaga keluarga maupun institusi pendidikan adalah suatu hal yang penting untuk mendapatkan perhatian yang lebih sehingga semakin berhati-hati dalam lingkungan pergaulan dengan tetap memperhatikan norma-norma yang ada.

Beberapa upaya terkait dengan penghapusan kekerasan seksual juga perlu dilakukan sebagai tindak lanjut dalam pencegahan dan penanganan terhadap tindakan kekerasan seksual. Dengan demikian, ada sasaran yang perlu diwujudkan dalam penghapusan kekerasan seksual yaitu:

  • Mencegah segala bentuk kekerasan seksual 
  • Menangani, melindungi, dan memulihkan korban
  • Menindak pelaku, dan
  • Menjamin terlaksananya kewajiban negara, peran keluarga, partisipasi masyarakat, dan tanggung jawab dalam mewujudkan lingkungan yang bebas dari segala bentuk pelecehan seksual.

Sehingga diharapkan untuk peraturan yang menangani permasalahan seksual bisa lebih fokus untuk pemenuhan hak dan pemulihan korban yang seharusnya lebih diutamakan sehingga tidak menimbulkan trauma yang berat dan korban juga merasa dilindungi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline