Lihat ke Halaman Asli

Guru, Tidak Sekedar Bekerja

Diperbarui: 30 September 2016   07:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Pagi ini terasa sangat berbeda. Rasanya tidak ada satupun hasrat untuk memulai aktivitas hari ini karena hari ini adalah hari terburukku. Aku benci hari ini. Ya, aku benci untuk menjadi guru, tetapi tidak ada pilihan lagi. Ayah memang sangat keras kepala, ia selalu memaksakan aku untuk menjadi guru. Mengajar pelajaran kelas 3 SD tidak sebanding dengan apa yang telah ku tuntut kurang lebih 15 tahun, termasuk menuntut ilmu di Negeri Tirai Bambu. Padahal cita-citaku adalah menjadi orang yang berpengaruh di negeri Indonesia ini, seperti Menteri atau Gubernur. Kalau saja, Ayah tidak sedang sakit, ia pasti tidak akan mengancamku seperti ini. Menurutnya, keadaannya akan menjadi semakin buruk jika aku tidak mengikuti kemauanya. Baiklah, sekarang aku turuti, demi Ayah.

Aku bergegas menuju kamar mandi karena ternyata sudah jam setengah enam. Untunglah Ayahku telah menyiapkan kost-an yang nyaman dan terjangkau untuk pergi ke sekolah tempat aku mengajar. “SD Gemilang”, dan di sinilah tempat dimana aku akan mengadu nasib. Tapi, ini adalah pekerjaan mudah bagiku, karena hanya pelajaran kelas 3 SD. Ya, kelas 3 SD. Rupanya sekolah ini memiliki bangunan yang bisa dibilang cukup tidak meyakinkan. Lihat saja, sekolah ini memiliki pagar yang karatan dan tidak layak pakai. Sampah berserakan di lantai sehingga lantai menjadi kotor.

Tidak ada rasa gugup yang menyerangku sejauh ini. Aku sudah berada di ruangan kepala sekolah yang terasa sangat pengap, tetapi Ibu Kepala Sekolah tetap memberiku senyuman hangat ketika beliau menyapaku. Selagi aku menunggu waktu masuk kelas, aku memikirkan untuk mencari jam kerja tambahan, karena aku hanya mengajar sampai dengan jam 12 siang, dan setelah itu aku tidak melakukan apa-apa. Jika pekerjaan itu ternyata lebih menyenangkan dan lebih menantang, aku akan mengambil waktuku untuk bekerja waktu penuh. Ayahku tidak akan tahu soal ini karena ia tidak tinggal berdekatan denganku.


Jam sudah menunjukkan pukul 7 dan lonceng pun berbunyi, aku segera beranjak dari ruang guru yang berada tepat di sebelah ruang kepala sekolah. Aku mencari kelas yang bertuliskan angka 3, lalu masuk, dan mendapati anak-anak yang berlarian di dalam kelas. Gaduh sekali. Aku tidak bisa berbuat apa-apa, hanya terdiam. Tidak ada satupun yang memperhatikan aku. Akupun memberanikan diri untuk bicara “bisakah kalian tenang anak-anak?” Tapi mereka tetap tidak peduli dengan apa yang aku katakan. Aku mengetok-ngetok papan tulis menggunakan penghapus, tapi mereka tetap ribut dan malah semakin menjadi-jadi. Seorang anak laki-laki dari mereka melempar tempat pensil ke arah anak perempuan, dan anak perempuan itupun menangis keras sekali.Aku segera menghampiri anak perempuan itu dan mengantarnya ke ruang kepala sekolah.

“DIAMMMMM” suara kepala sekolah menggelegar di kelasku. Rupanya anak perempuan tadi telah menceritakan apa yang terjadi di kelas ini kepala kepala sekolah, sehingga ibu kepala sekolah marah sekali dengan murid-murid di kelas 3. Anak perempuan tadi kembali duduk di kursinya.Anak-anakpun kembali tenang, tenang sekali. Tiba-tiba aku gugup, apa yang harus ku bicarakan dengan mereka. Aku terdiam.

“Kenapa ibu diam?” salah seorang anak perempuan yang memakai banyak jepitan di rambutnya membuyarkan rasa gugupku. Aku segera mengalihkannya dengan menyuruh mereka membuka buku matematika halaman tiga. Syukurlah, mereka mengerti tentang angka. Aku memberi perintah ke mereka menulis angka satu sampai dengan seratus sebagai tugas yang harus dikerjakan di sekolah dan dikumpulkan pada hari ini juga.

Lain dari dugaanku, aku pikir jadi bisa santai menunggu mereka menyelesaikan pekerjaannya. Mereka sering sekali bertengkar, karena ada-ada saja ulahnya. Ada yang usil, ada yang sangat sensitif, ada yang selalu malang, ada yang selalu mengkritik dan tiga belas murid berkarakter lainnya. Itu membuat aku sering melerai mereka, tapi mereka seperti tidak mengindahkan aku.

Lonceng pun berbunyi pertanda waktunya pulang. Satu persatu dari mereka mengumpulkan buku tugas di atas mejaku. Roi, anak yang selalu usil dan selalu membuat kegaduhan di kelas masih duduk tenang di kursinya. Aku menghampiri Roi dan melihat pekerjaannya, ternyata dia masih menulis angka 67, itu berarti masih 67% pekerjaannya. Aku harus menunggu sampai Roi benar-benar selesai mengerjakan tugasnya. Kadang aku juga harus mengajari ia menulis karena sangat sulit bagi dia untuk menulis angka “8”. Entah mengapa, tangannya selalu saja gemetar.

Akhirnya, Roi menuliskan angka “100”. Aku sangat lega sekaligus kaget, ternyata sudah jam 4 sore. Tidak bisa hari ini untuk melamar pekerjaan di tempat lain, karena jam 4 merupakan jam pulang kantor. Mungkin besok akan kucoba.

Keesokan harinya, aku mengajar bahasa Inggris.Kali ini aku tidak ingin memberikan mereka tugas karena aku harus pulang tepat waktu untuk misi rahasiaku ini. Aku hanya mengajarkan mereka mengucapkan lafal bahasa Inggris dari angka-angka yang ada di buku pelajaran. Tidak terasa, waktu telah menunjukkan pukul 12. Aku segera bersiap-siap untuk pulang. Aku pun meninggalkan ruangan kelas dan tersenyum lega.

Ketika aku hampir sampai di gerbang sekolah, aku melihat Lori, gadis termalang yang ada di kelasku. Aku berjalan menghampiri dia yang sedang duduk di bawah pohon. Aku menyapa Lori dan bertanya mengapa dia tidak pulang. Aku terjebak lagi dalam situasi dan kondisi yang kurang lebih sama. Aku tidak bisa pulang. Ada Lori disini dan aku tidak tega membiarkan dia menunggu sendirian di sekolah. Aku menemani Lori dan mendengarkan berbagai cerita termasuk tentang Ayahnya. Hebat, ayah Lori adalah seorang pahlawan, aku kagum mendengarkan, dia menceritakan dengan penuh semangat dan senyum. Tidak terasa sudah 2 jam kami berbicara, Lori akhirnya dijemput oleh bibinya. Akhirnya aku tidak sempat untuk melamar pekerjaan lagi.

Suatu hari, ketika aku sedang mengajarkan pelajaran bahasa Indonesia tentang cita-cita, aku bertanya kepada semua anak-anak yang ada di kelas 3 ini, “Apa cita-cita kalian?” Cici, anak yang mempunyai tubuh gemuk itu menunjuk tangan dan menjawab, “Aku ingin menjadi gubernur.” Lalu Adi membantah cita-cita Cici, “Kenapa kamu ingin menjadi Gubernur? Kata bapak, Gubernur itu tidak baik. Dia memerintahkan orang-orang supaya menghancurkan rumahku sehingga sekarang aku harus tidur di pemakaman. Dia juga membuat orang tua Roi tidak lagi mendapatkan penghasilan yang cukup karena gerobak dagangannya dirusak begitu saja akibatnya Roi dibuang oleh orangtuanya karena tidak sanggup lagi menghidup Roi.” Aku bingung untuk menanggapi hal ini, sungguh bingung. Cici menambahkan, “Kalau begitu aku akan menjadi dokter”. “Aku yang akan menjadi dokter!” Lori berbicara dengan suara nyaring. “Orang cengeng mana bisa jadi dokter?” Dea si pengkritik menambahkan dan semua anak-anak tertawa mendengar hal itu. Aku berusaha untuk menenangkan kelas tetapi lagi-lagi tidak berhasil. Lori mulai berbicara dengan suara yang setengah sendu, “Aku ingin menjadi dokter untuk menyembuhkan penyakit ibu.” Lalu aku mengalihkan mereka dengan memberikan waktu mereka untuk menggambar cita-cita mereka.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline