Lihat ke Halaman Asli

Membangun Kemandirian Anak Jalanan

Diperbarui: 3 Januari 2016   17:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Beberapa tahun belakangan ini jumlah anak jalan di Indonesia kian hari kian meningkat. Kementrian Sosial merincikan bahwa pada tahun 2015 ini ada 4,1 juta anak terlantar, 5.900 diantaranya menjadi korban perdagangan manusia, 3.600 berikutnya adalah anak-anak yang bermasalah dengan hukum, 1,2 juta bayi yang terlantar serta 34.000 anak jalanan. Melihat hal seperti ini diperlukannya penanganan masalah yang cukup serius. Karena pada dasarnya anak merupakan tonggak estafet suatu bangsa. Mereka yang nantinya akan berperan sebagai agent of change, iron stock dan social control. Soekarno pernah berkata “beri aku 1000 orang tua niscaya akan ku cabut semeru dari akarnya, berikan aku 10 pemuda niscaya akan aku guncangkan dunia”. Dalam perkataan presiden pertama Indonesia tersebut tersirat makna bahwa anak merupakan harta yang berharga bagi suatu bangsa.

Anak jalanan pada dasarnya juga termasuk kedalam kategori “anak-anak”, mereka sama dengan anak-anak biasa, yang membedakan hanyalah anak jalanan menghabiskan sebagian besar waktunya sehari-harinya di jalan, bukan hanya untuk bermain, melainkan sebagian besar dari mereka mencari nafkah untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Sebagian besar dari mereka adalah anak-anak yang berasal dari keluarga yang ekonominya lemah, korban broken home serta korban penculikan anak. Anak jalanan terbagi dalam beberapa jenis; pertama anak jalan yang memang membantu orang tuanya mencari nafkah dijalan, kedua anak jalanan yang memang dipekerjakan oleh orangtuanya, dan ketiga anak jalanan yang dipekerjakan oleh orang lain dan tidak tinggal bersama orangtuanya. Pada umumnya anak jalanan ini mencari nafkah dengan berbagai cara. Ada yang berjualan koran di persimpangan traffic light, ada yang menjadi pengemis, ada yang menjadi pengamen, ada yang menjadi pedagang rokok dan minuman keliling.

Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 34 Ayat 1 menyebutkan “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara”, dipelihara dalam hal ini bukan hanya diberi makan dan minum seperti halnya memelihara hewan, namun juga diberdayakan. Anak jalan juga termasuk dalam kategori anak terlantar sehingga mereka patut untuk diberdayakan karena mereka tidak mempunyai keberdayaan untuk menanggung hidupnya. Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk menangani anak jalanan. Seperti halnya Kementrian Sosial pada tahun 2011 yang merilis 4 model penanganan untuk anak jalanan. Pertama, model street-centered intervention yaitu menanganan anak jalanan yang yang dipusatkan di “jalan” dimana mereka sehari-hari bekerja. Kedua,  family-centered intervention yaitu penanganan yang dipusatkan kepada keluarga dengan cara memberikan bantuan finansial agar dapat mencegah anak untuk terjun ke “jalan”. Ketiga, institutional-centered intervention yaitu penanganan anak jalanan yang dipusatkan di panti dengan cara menempatkan mereka di panti untuk sementara bagi mereka yang masih mempunyai sanak-saudara dan menempatkan mereka secara permanen bagi mereka yang sudah tidak mempunyai keluarga.  Keempat, community-centered intervention yaitu melibatkan program-program community development untuk memberdayakan masyarakat.

Berbagai model penanganan tersebut tampaknya belum cukup untuk menangani masalah anak jalanan. Terbukti dengan meningkatnya jumlah anak jalanan dari tahun ke tahun. Penanganan anak jalanan berbasis pemberdayaan dirasa perlu agar suatu ketika mereka sudah melalui program pemberdayaan, mereka dapat mengembangkan pengetahuannya secara mandiri. Karena anak tidak hanya perlu diberi uang dan makan semata tetapi mereka juga perlu dididik dan diberi kasih sayang. Membangun kemandirian bagi anak jalanan dapat dilakukan dengan berbagai cara. Salah satunya adalah dengan prinsip entrepreneurship. Langkah awal dari prinsip ini adalah dengan mengadakan pelatihan pengembangan kewirausahaan bagi anak jalanan, dalam hal ini pekerja sosial perlu bertindak untuk mencari anak jalanan yang akan dijadikan sasaran. Pelatihan ini didesain dengan konsep yang menyenangkan dan tidak terlalu formal agar anak tidak cepat bosan dan menjadi beban, karena pada dasarnya anak-anak menyukai hal-hal yang berbau menyenangkan.  

Misalnya dalam penyampaian materi pelatihan dengan cara mengadakan games yang tentunya games tersebut menyimpan pesan tersirat materi pelatihan. Langkah yang kedua adalah ketika mereka sudah menyelesaikan materi pelatihan, mereka diajak terjun ke lapangan untuk melihat bagaimana bentuk-bentuk usaha yang dapat dijalani. Hal ini bertujuan agar anak jalanan tersebut dapat mempunyai gambaran ide untuk usaha yang akan dijalaninya ketika sudah menyelesaikan pelatihan. Langkah yang ketiga adalah magang, anak jalanan tersebut ditempatkan dalam suatu usaha yang mereka inginkan misalnya anak jalanan A ingin mendirikan usaha rumah industri kue kering maka dia ditempatkan di rumah industri kue kering dan disana dia diijinkan untuk bekerja dan memperdalam pengetahuannya selama satu bulan. Dengan hal ini mereka dapat mengetahui bagaimana kesulitan yang harus dihadapi sebagai seorang pengusaha. Langkah yang terakhir adalah memberikan bantuan finansial berupa modal usaha untuk merealisasikan usahanya dengan syarat mereka telah melalui tiga langkah sebelumnya terdahulu.

Disini CSR (Coorporate Social Responsibility) dapat berperan untuk memberikan bantuan. Dana CSR suatu perusahaan bisa dialokasikan beberapa persen untuk memberikan dan bantuan modal usaha untuk anak jalanan. Dalam merealisasikan usahanya, anak jalanan tersebut juga perlu dibimbing meski sudah selesai pelatihan. Hal ini bertujuan agar usaha yang telah direalisasikan tidak berhenti ditengah jalan. Karena permasalahan yang terjadi di Indonesia selama ini adalah ketika sudah diberi modal usaha, usahanya berhenti ditengah jalan dan malah ada yang usahanya tidak berjalan sama-sekali.

Hal ini dapat disebabkan karena modal usaha yang diberikan malah digunakan untuk kebutuhan lain, bukan digunakan untuk kebutuhan usaha. Oleh karena itu pendampingan untuk merealisasikan usaha dirasa perlu, pendampingan ini bukan hanya satu atau dua bulan tetapi sampai usaha tersebut benar-benar berjalan. Pendampingnya adalah seorang pekerja sosial atau bisa juga seorang entrepreneur muda. Dengan cara ini dapat meningkatkan taraf hidup anak jalanan.

Cara tersebut diatas hanya dapat diterapkan bagi anak-anak usia sekitar 15 tahun keatas. Lalu bagaimana nasib anak jalanan yang berumur 15 tahun kebawah? Tentunya harus ada cara yang berbeda dalam menanganinya. Anak usia 15 tahun kebawah masih tergolong awam untuk memikirkan persoalan seperti diatas. Bahkan mereka juga bisa dikatakan belum mampu untuk memikirkannya. Oleh karena itu diperlukan cara yang tepat seperti menempatkan mereka ke panti anak jalanan bagi mereka yang sudah tidak mempunyai sanak saudara.

Tidak sebatas mereka diberi tempat tinggal dan makan tetapi mereka juga perlu diberikan pengetahuan, maka diperlukannya kegiatan panti yang didesain seperti sekolah dan materi yang disampaikan bukanlah entrepreneurship seperti diatas melainkan pelajaran sekolah formal. Panti juga seharusnya menyediakan kegiatan yang dapat mengembangkan keterampilan mereka seperti diajarkan bernyanyi, menjahit, memasak, menggambar sesuai bakat dan minat masing-masing. Dengan bekal diajarkan keterampilan seperti ini kelak mereka akan dapat mengaplikasikannya dimasa depan.

Untuk anak jalanan yang dihidup dijalan dengan orang tuanya, penanganan cara membangun kemandiriannya pun berbeda. Dalam konteks ini bisa diterapkan dengan konsep parenting entrepreneurshipyaitu dengan cara memberikan pendampingan kepada orang tua agar tidak bekerja di “jalan” dan mempekerjakan anaknya. Pendampingan ini berupa pendampingan wirausaha. Orang tua dibimbing untuk berwirausaha dan diberikan modal serta didampingi hingga usaha tersebut berjalan. Orang tua tersebut juga butuh pendampingan dalam mendidik anaknya, menciptakan iklim yang kondusif dalam keluarga agar anak tidak kembali ke “jalan”. Anak tersebut juga perlu di sekolahkan, jadi bantuan untuk biaya sekolah juga diperlukan. Untuk menangani masalah membangun kemandirian anak jalanan diperlukan kerja sama yang baik antara masyarakat, pemerintah dan sektor swasta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline