Pasar modal Indonesia menjadi lebih semarak akhir-akhir ini, apalagi kalau bukan karena rencana melantainya jagoan-jagoan start up tanah air. Perusahaan rintisan teknologi pertama yang akan hadir adalah Bukalapak (BUKA) di awal Agustus 2021 ini.
BUKA digadang-gadang akan menjadi booster bagi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Indonesia yang bisa dibilang kinerjanya cukup lambat.
Selama 5 tahun terakhir, IHSG secara rata-rata hanya mampu tumbuh sekitar 3% per tahun. Sangat njomplang jika dibandingkan indeks saham AS seperti Dow Jones yang selama 5 tahun terakhir mampu menghasilkan return sekitar 17% per tahun.
Banyak yang berpendapat bahwa lagging-nya IHSG dikarenakan tidak adanya saham teknologi atau tech stock yang cukup kuat. Sedangkan di AS saat ini tech stock telah menjadi motor penggerak utama bursa, sebut saja Apple, Microsoft, Amazon, Google, dan Tesla.
Tahun 2021 ini menjadi pertaruhan bagi IHSG, apalagi melihat kinerja indeks Indonesia ini selama tahun ini yang bisa dibilang "masuk angin", yaitu hanya tumbuh sekitar 1% secara year to date.
Oleh karena itu, rencana unicorn-unicorn jagoan tanah air seperti GoTo, Bukalapak, Traveloka dan J&T yang akan melantai di bursa tentu disambut gegap gempita.
Kontroversi BUKA
Menjadi startup unicorn pertama yang akan melaksanakan Initial Public Offering (IPO) di Indonesia, BUKA tentu memancing kontroversi. Tapi ya netizen kita kan justru suka yang berbau kontroversi, hehe.
Laporan keuangan yang masih mencatatkan kerugian dalam beberapa tahun, lalu market share dibidang e-commerce yang bisa dibilang terus tenggelam oleh persaingan Tokopedia dan Shopee. Belum lagi isu kontroversial seperti exit strategy para investor awal Bukalapak melalui pasar modal.
Realitanya, banyak masyarakat kita yang tetap optimis menyambut sang unicorn perintis ini mengepakkan sayapnya di bursa. Termasuk otoritas Bursa Efek Indonesia yang melakukan beberapa perbaikan regulasi untuk memberi jalan para perusahaan yang "dibilang terus merugi" ini untuk IPO.