Di bulan suci Ramadhan yang indah ini, suasana sejuk terasa di hati, bahkan tak terasa hingga menyejukkan media sosial. Kesejukan di media sosial ini suatu hal yang patut kita syukuri mengingat beberapa bulan lalu dunia maya menjadi ajang prasangka dan pergunjingan. Tidak hanya media sosial publik seperti Instagram dan Facebook saja yang ramai, tapi juga media semi privat seperti Whatsapp turut memanas. Berbagai isu yang menghangat di media sosial tahun ini membuat sebagian orang mengerutkan dahi, berita berseliweran hingga tak jarang umpatan pun mewarnai lini masa. Sungguh disayangkan energi berdebat kita banyak dihabiskan di media sosial, tapi senyap di media ilmiah, ekonomi dan kontekstual.
Hingga akhirnya kita memasuki bulan suci Ramadhan, bulan penuh berkah dimana umat Islam diwajibkan untuk berpuasa, bermuhasabah (introspeksi diri) dan mengejar amalan yang berlipat ganda. Di momen inilah, suhu media sosial mulai terasa mereda, tidak lagi atau tidak banyak berita-berita bernada tuduhan atau umpatan yang beredar. Ya.. ternyata kita bisa menjadi manusia yang lebih dewasa di bulan Ramadhan ini, menjadi manusia yang lebih sabar, lebih tenang dan lebih jernih dalam menyikapi berbagai hal. Ternyata kita bisa juga menjadi manusia yang sejuk, berkata dan berperilaku baik, jernih melihat permasalahan, saling berbagi dan menghormati.. indahnya..
Bersikap kritis itu penting dan perlu, namun kita juga perlu tetap belajar empati. Membayangkan saat memposisikan diri sebagai orang yang kita hujat, membuat kita belajar meskipun mungkin kita berada di posisi yang benar, kita akan tetap bisa menghormati orang lain. Di era media sosial yang high sensitivity saat ini, kadang kita memang berada di posisi yang sulit, menyampaikan dukungan dinilai memihak, menyampaikan nasehat bijak pun juga dihujat. Tapi dengan niat baik tentu kita tidak lantas berhenti untuk menebar kebaikan dan manfaat, karena sebaik-baik manusia adalah manusia yang bermanfaat bukan?.
Dalam konteks bulan Ramadhan, fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengenai media sosial perlu kita apresiasi dan perhatikan, diantara poin utamanya adalah.
Dalam bermuamalah dengan sesama, baik di dalam kehidupan riil maupun media sosial, setiap muslim wajib mendasarkan pada keimanan dan ketakwaan, kebajikan (mu'asyarah bil ma'ruf), persaudaraan (ukhuwwah), saling wasiat akan kebenaran (al-haqq) serta mengajak pada kebaikan (al-amr bi al-ma'ruf) dan mencegah kemunkaran (al-nahyu 'an al-munkar).
Setiap muslim yang bermuamalah (bersosialisasi) melalui media sosial diharamkan untuk melakukan ghibah(penyampaian informasi spesifik ke suatu pihak yang tidak disukai), fitnah, namimah (adu domba), dan penyebaran permusuhan.
Fatwa MUI secara lengkap bisa kita lihat di sini.
Jika dilihat lebih lanjut fatwa MUI tersebut, antara lain disampaikan pedoman bermuamalah yang mengutamakan tabayyun (verifikasi informasi), dan juga pedoman pembuatan konten agar menggunakan diksi kata yang tidak provokatif serta tidak membangkitkan kebencian. Sungguh suatu hal yang sangat baik untuk kita renungkan di bulan Ramadhan yang indah ini, sehingga InsyaAllah bulan Ramadhan membawa kita untuk menjadi manusia yang lebih baik. Semoga menyejuknya media sosial tidak hanya terjadi di bulan Ramadhan ini, namun juga dapat kita pelihara di bulan-bulan selanjutnya. Damai Indonesiaku.
Septian Ananggadipa
Solo, 11 Juni 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H