"Tangismu wahai bayi-bayi tanpa kepala
dibentur di tembok-tembok Palestina
Jeritmu wahai bayi-bayi Afganistan
yang memanggil-manggilku tanpa lengan
dieksekusi bom-bom jahanam
saat ayah bundamu menjalani Ramadhan"
September 2004, cetakan pertama buku "Aku Melawan Teroris" resmi diterbitkan oleh Jazeera, Solo. Sampai cetakan ketiga buku ini laku keras, namun setahun setelahnya dikabarkan pembaca sulit untuk mendapatkan buku tersebut, sebagaimana dilansir oleh detikcom pada November 2005. Dan ternyata hal itu bukan kabar belaka, saya sendiri menemukan buku ini baru sekitar lima tahun silam dan merupakan milik seorang kakak alumni SMA yang diwakafkan. Sungguh, sebuah nikmat yang luar biasa, Allah Swt.izinkan saya untuk menggali banyak ilmu yang penulis sajikan di dalam bukunya. Tidak hanya berkaitan dengan jihad fii sabilillah, darinya saya petik sejuta hikmah dari autobiografi penulis sejak masa kecil hingga akhirnya divonis mati pada September 2003.
Buku yang merupakan torehan catatan harian Imam Samudra ini, ditulis dibalik jeruji besi sembari menunggu proses eksekusi atas permintaan dari TPM (Tim Pengacara Muslim). Pada awalnya penulis menolak untuk menuliskan autobiografi dirinya, namun karena terbesit pada benaknya akan kewajiban memberikan penjelasan dalil-dalil syar'i operasi jihad, akhirnya sampailah sang penulis di ujung buku yang tebalnya 280 halaman. Berdasar atas perang batin yang telah dilaluinya, dikutip dalam bukunya sebuah judul "Biografi setengah hati". Selain buku yang satu ini, ia juga menulis beberapa buku lain selama di penjara seperti "Sekuntum Rosela Pelipur Lara".
Kata orang "Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali". Mungkin beberapa orang beranggapan penulisan resensi ini sudah ketinggalan zaman, atau bahkan saat saya membaca buku ini pertama kali juga sudah sangat jauh dari tahun penerbitan. Tapi, bagi saya tidak ada kata terlambat, toh orang yang pengetahuannya mendahului saya, dulunya juga tidak tahu. Terlepas dari itu, ilmu-ilmu yang tergores di dalamnya penting sekali untuk diketahui, khususnya bagi generasi Islam yang di masa depan akan mengibarkan raayatul Islam lii'laai kalimatillah, serta mengingatkan kaum muslimin yang kurang melek terhadap perang salib yang masih terjadi hingga saat ini. Oleh karena itu, buku ini terpilih untuk diresensi dari sekian buku popular zaman now. Semoga apa yang menjadi harapan akan Allah Swt. kabulkan, amin.
"Terima kasih, Musuhku", saya sedikit tersontak dengan sambutan itu, tapi, keinginan saya untuk segera sampai ke bagian akhir malah semakin menggebu. Judulnya sudah membuat saya dan beberapa rekan tidak bisa tidur, lantaran kehidupan asrama yang memberikan antrian untuk banyak hal, termasuk untuk membaca buku pinjaman. Di halaman 4, sang editor (Bambang Sukirno) memaparkan sejumlah paragraf yang dinukil dari Syukron Ayyuhal A'da, tulisan syekh Salman Fadh, seorang ulama senior Timur Tengah. Sungguh kata-kata yang luar biasa, setiap baitnya akan membangkitkan energi postif bagi diri pembaca yang menghayatinya. Tidak seperti biasanya, saya merasa sangat disayangkan untuk melewati satu huruf saja dari buku ini, bahkan kata pengantar dan hal-hal lain yang biasanya saya lewatkan ketika membaca buku tertentu, kali ini saya bahas tuntas hingga sampul akhir.