Apa itu pajak karbon? Bagi sebagian masyarakat mungkin masih terdengar asing dengan pajak tersebut. Namun, tidak sedikit pula yang sudah mengetahui tentang pajak karbon ini. Lagi dan lagi penerapan pajak karbon ditunda karena berbagai pertimbangan yang masih perlu dikaji ulang. Kali ini, pemerintah menjanjikan akan menerapkan pajak karbon pada tahun 2025 setelah beberapa kali penundaan.
Dilansir dari CNBC Indonesia, Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan menyebutkan bahwa pajak karbon merupakan suatu upaya yang ingin dilakukan pemerintah untuk mengurangi dampak dari peningkatan CO2 di Indonesia. Peningkatan CO2 tersebut dibarengi dengan pesatnya perkembangan perekonomian di Indonesia saat ini, sehingga dalam keadaan yang sangat krusial tersebut pemerintah perlu menyiapkan sebuah kebijakan yang benar-benar matang.
Banyak pro dan kontra yang membersamai kebijakan ini. Dukungan yang diberikan disimbolkan seperti izin yang diberikan kepada pemerintah agar Indonesia terselamatkan dari CO2 dan efek rumah kaca. Namun, tidak sedikit juga yang menentang kebijakan ini. Penentangan tersebut dikarenakan efek samping dari penerapan pajak karbon adalah meningkatnya harga jual produk. Demi mengurangi pengeluaran, perusahaan dapat meminimalkan produksi atau membuat harga jual produk menjadi lebih tinggi. Istilah "maju kena, mundur kena" cocok diselipkan dalam penerapan kebijakan pajak karbon ini.
Sebenarnya penerapan pajak karbon di luar negeri sudah sangat banyak. Terdapat 27 negara yang telah bergabung untuk menerapkan pajak karbon pada tahun 2021, hal tersebut diungkapkan Olivia Lai di tulisannya yang berjudul "What Countries Have a Carbon Tax" pada tahun 2021. Salah satu negara tersebut adalah Tiongkok, mereka berhasil menjadikan Tiongkok sebagai pasar karbon terbesar di dunia. Sebanyak 4,1 juta ton kuota CO2 diperdagangkan di pasar karbon tersebut guna mencapai target nol emisi di tahun 2060 (Lai, 2021).
Indonesia juga tengah menyiapkan skema penerapan pajak karbon itu sendiri. Seperti yang dipaparkan dalam webinar "Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon di Subsektor Ketenagalistrikan" pada tanggal 2 Desember 2021 yang dilaksanakan oleh Kementerian Keuangan, ada 2 macam mekanisme pajak karbon yaitu cap and tax dan cap and trade.
Kuota CO2 yang diberikan oleh pemerintah dapat digunakan sebaik-baiknya oleh perusahaan. Apabila entitas menghasilkan CO2 melebihi batas kuota yang diberikan pemerintah, entitas tersebut dapat membeli kuota atau SIE (Sertifikat Izin Emisi) dari entitas lain, jika pembelian SIE tersebut belum menutup seluruhnya emisi CO2 yang dihasilkan, maka entitas tersebut harus membayar pajak karbon per ton CO2 yang diproduksi.
Berbeda halnya dengan cap and trade, apabila suatu entitas dapat menekan CO2 yang diproduksi maka sisa kuota karbon yang dimiliki dapat diperdagangkan ke entitas yang membutuhkan. Implementasi kebijakan tersebut diiringi dengan diterapkannya perdagangan karbon guna menciptakan pasar karbon yang berkelanjutan.
Keuntungan dari penerapan kebijakan ini adalah menstimulasi berbagai entitas untuk mencari sumber daya alternatif dalam produksi bahan baku dan mendorong berbagai entitas untuk menekan CO2 yang dihasilkan. Selain itu, kebijakan ini menguntungkan bagi pemerintah, selain dapat memperluas basis pajak, penerimaan negara juga meningkat karena penerapan pajak ini.
Di sisi lain, hal ini menjadi beban bagi masyarakat dalam memenuhi kebutuhan ekonomi mereka, pasalnya dengan adanya penerapan pajak karbon ini otomatis akan meningkatkan nilai jual produk sehingga dapat mengurangi permintaan. Namun, apabila pajak karbon tidak diterapkan di Indonesia, kerusakan lingkungan yang semakin parah seiring pertumbuhan ekonomi Indonesia yang pesat akan membuat pemerintah lebih mengeluarkan banyak uang untuk memperbaikinya.
Referensi
Webinar Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon di Subsektor Ketenagalistrikan. Kementerian Keuangan. (2021). Upaya Mitigasi Perubahan Iklim dan Pertumbuhan Ekonomi Berkelanjutan. https://gatrik.esdm.go.id/assets/uploads/download_index/files/2bb41-bahan-bkf-kemenkeu.pdf