Lihat ke Halaman Asli

Septian Dhaniar Rahman

Penerjemah dan Komikus

Hantu Hutan (Bagian 6)

Diperbarui: 17 Januari 2022   21:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

ENAM

Hari Rabu tanggal 27 Oktober 2021 tepat pukul dua siang merupakan upacara pemakaman Om Kaftan di TPU Tanah Kusir Jakarta Selatan. Di tengah cuaca yang sangat mendung lalu turun hujan rintik-rintik, kami semua harus merelakan kepergian Om Kaftan. Menjadi tugasku dan istriku untuk menemukan pembunuhnya. Ini sungguh urusan pribadi. Aku tidak peduli kalau harus main hakim sendiri pada sang pembunuh. Masalahnya baik aku dan istriku tidak punya petunjuk sama sekali untuk mencari sang pembunuh kecuali lewat rekaman suara telepon tadi malam. Namun aku mempunyai beberapa karyawan yang jago untuk masalah ini. Aku mengajak istriku untuk menemui salah satu karyawanku yang rumahnya tidak jauh dari Tanah Kusir guna meminta bantuan melacak suara telepon sang pembunuh. Dicky Hasanudin nama karyawanku itu tengah bekerja dari rumah saat kami menemuinya. Tentu kami bertiga menerapkan protokol kesehatan yang ketat guna mengantisipasi melonjaknya kasus Covid-19 supaya tidak meroket lagi seperti yang sudah-sudah.

"Apa yang bisa gue bantu, Mister Bos?"

Istriku tertawa mendengar perkataan Dicky, tapi aku tetap serius. "Lu bisa melacak suara penelpon rumah?" tanyaku pada Dicky. Aku baru sadar kalau pertanyaanku ini terdengar goblok, tapi apa boleh buat.

"Mister Bos masih memakai telepon rumah?" Wajah Dicky langsung berubah girang berniat mengolok-olokku, tapi karena aku tetap serius, Dicky langsung cemberut. "Maaf, Mister Bos. Gue tetap mau membantu kok. Gue ingin tertawa tapi kok memalukan. Berapa nomor telepon rumah Mister Bos?"

Aku menyebutkan nomor telepon rumahku dan Dicky langsung mengangguk mantap sambil menawari kami makan dan minum. Istriku menolak begitu sopan, begitu pula aku. "Aku yakin lu hebat, Dick. Kami tunggu lho."

Lima belas menit kemudian, Dicky menemui kami lagi dengan wajah bingung. Aku tak pernah melihat Dicky seperti itu.

"Mister Bos," bisik Dicky. "Penelpon rumah Mister Bos berasal dari ... Hotel Micronium."

"Lu yakin, Dick?"

"Yakin sekali, Mister Bos. Pecat gue kalau salah." Dicky menyerahkan surat bukti pelacakan telepon dengan data yang sangat akurat kepadaku. "Bawa ini, Mister Bos. Surat bukti ini sangat ampuh. Surat bukti ini bisa membantu polisi untuk menangkap sang pembunuh."

"Makasih, Dick. Lu hebat seperti biasa. Nanti cek rekening lu ya? Ada tambahan nih buat lu. Siap?"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline