Budaya sungkem salah satu budaya dari adat jawa yang masih sering dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Menurut KBBI Kata "sungkem" diartikan sebagai sujud, tanda hormat, dan menunjukan bakti. Penggunaan istilah sungkem ini sudah digunakan dari jaman pemerintahan Kerajaan Kediri. Dikutip dari borobudurnews budaya sungkem pertama kali digunakan oleh seorang darah biru, beliau bernama Kanjeng Gusti Pangeran Haryo, Pengangeng Kasentanan Keraton Surakarta, menurut beliau tradisi budaya sungkem ini berasal dari Keraton Kasunan Surakarta dan Kadipaten Pura Mangkunegaran. Sungkeman yang dilakukan pertama kali di era Sri Mangkunegara I, pada saat itu digunakan untuk saling bermaaf -- maafan saat setelah sholat ied selesai. Dapat diketahui bahwa tradisi sungkem ini memiliki arti yang positif bagi diri kita dan orang yang lebih tua dari kita, untuk menghormati orang tua kita dan leluhur. Tradisi seperti sungkem ini berguna untuk mengajarkan para generasi muda agar mereka bisa memberikan rasa hormat yang tinggi terhadap orangtua dan orang yang dianggap lebih tua dari umur mereka, tradisi positif ini akan memberikan pandangan kepada generasi muda agar selalu menghormati orang yang lebih tua. Selain digunakan untuk menghormati orangtua, tradisi sungkem juga digunakan untuk saling memaafkan yang dilakukan saat lebaran idul fitri yang dilaksanakan umat muslim setiap setahun sekali, penggambaran tradisi sungkem ini seperti orang yang lebih tua duduk diatas atau lebih tinggi dibanding anaknya, yang memiliki arti bahwa derajat orangtua lebih tinggi dari anaknya dan juga dapat diartikan orang yang lebih tua sudah lahir didunia terlebih dahulu dan sudah banyak pengalaman hidup yang mereka lewati dibanding anak muda yang baru lahir, maka dari itu anak muda harus menghormati orang yang lebih tua. Tradisi sungkem ini telah menjadi kebiasaan orang Jawa, karena dari kecil mereka sudah diajarkan oleh orang tua mereka untuk sungkem, maka dari itu tradisi sungkem ini sudah tertanam di otak masyarakat Indonesia yang hingga saat ini masih sering dilakukan. Hal tersebut merupakan suatu perwujudan struktur sosial yang diinternalisasikan dalam diri, dan didapatkan sebagai akibat dari lamanya posisi dalam kehidupan sosial yang mereka jalani, penjelasan tersebut dinamai dengan Habitus (Krisdinanto dalam Bourdieu, 1977). Dapat dipahami bahwa eksistensi tradisi budaya sungkem ini sudah ada dari jaman dahulu, dan hingga saat ini masih dijadikan pedoman hidup bagi masyarakat Jawa untuk menghormati orang yang lebih tua. Konsep habitus ini tentunya tidak dapat dipisahkan dengan konsep ranah (field), kedua konsep tersebut saling berkaitan, habitus sebagai internalisasi individu sedangkan ranah sebagai tempat agen untuk bersaing dalam sosial (Krisdinanto dalam Bourdieu, 1977). Tradisi sungkem ini sangat lekat dengan masyarakat Jawa dan ditemukan oleh kerajaan pulau Jawa pada masa itu. Masyarakat jawa memiliki modal sosial, karena mereka saling berhubungan dengan sesama maupun anggota keluarga, sehingga tradisi sungkem ini masih berjalan dengan sesuai arah, generasi turun temurun tetap mempraktekan dan menanamkan tradisi sungkem untuk menambah rasa hormat terhadap orangtua, kakek, nenek, dan leluhur mereka. Nilai positif dari sungkem ini memberikan hal baik terutama generasi muda saat ini yang hidup ditengah gempuran era globalisasi yang kian memengaruhi budaya Indonesia, dengan adanya sungkem mereka secara tidak langsung harus tetap menjaga martabat dan kehormatan untuk orang tua dan keluarga besar mereka.
SUMBER :
Krisdinanto, N. (2014). Pierre Bourdieu, Sang Juru Damai. KANAL: Jurnal Ilmu Komunikasi, 2(2), 189-206
Borobudur. (2020). Sejarah Sungkeman Yang Kini Jadi Tradisi Jawa. Borobudur News. https://borobudurnews.com/sejarah-sungkeman-yang-kini-jadi-tradisi-jawa/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H