Lihat ke Halaman Asli

Menyadarkan Loyalis Anas

Diperbarui: 24 Juni 2015   15:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Terungkapnya pelaku  pembocoran draf surat perintah penyidikan (sprindik) kasus Hambalang, terkait mantan ketua Umum Parta Demokrat (PD),  Anas Urbaningrum pasca ditetapkan statusnya sebagai tersangka terkait tersangkut dirinya dalam kasus Hambalang dan sejumlah proyek lainnya oleh  Komisi Pemberantasan korupsi (KPK).

Melebarnya kasus ini bermuara tidak terimanya loyalis Anas, atas korupsi yang menimpa Anas. Ketidakterimannya ini kemudian  mendesak agar pembocoran draf surat perintah penyidikan (sprindik) kasus Hambalang diusut. Faksi ini menduga adanya pelanggaran Pasal 10 A, UU 25/2003 tentang pencucian uang, jo UU 8/2010 tentang masalah pembocoran dokumen yang merupakan rahasia jabatan.

Ketika itu, Fredrich Yunadi selaku kuasa hukum Tridanto (Mantan Ketua DPC Partai Demokrat Cilacap) mengatakan, Polri tidak berhak menolak laporan mereka. Sebab bocornya sprindik tersebut mengandung tindak pidana umum. Menurut dia, dokumen ini seharusnya menjadi tanggung jawab jabatan di KPK. Pembocoran bisa saja terjadi karena unsur kelalaian atau kesengajaan yang menyebabkan seseorang diancam hukuman pidana. Untuk kelalaian (hukuman) 4,5 tahun dan dengan sengaja membocorkan diganjar hukuman 15 tahun.

Seiring berjalannya waktu, keputusan sidang terbuka Komite Etik KPK di kantor KPK, Jakarta, Rabu (03/04) berhasil mengungkap pembocor spirindik, Komite Etik saat itu menyatakan pelaku utama pembocoran dokumen sprindik Anas Urbaningrum adalah Wiwin Suwandi, sekretaris Ketua KPK Abraham Samad.

Temuan Komite Etik menyebutkan, Wiwin diminta Abraham untuk memindai dokumen draf sprindik atas nama Anas Urbaningrum, tetapi belum diberi nomor dan cap KPK. Wiwin kemudian diketahui mencetak beberapa kali hasil pindaiannya, dan kemudian menyerahkan salinan sprindik itu kepada beberapa wartawan media nasional. Dia juga terbukti berinisiatif memberitahu pesan singkat dari Abraham Samad kepada beberapa pihak tentang penetapan Anas Urbaningrum sebagai tersangka kasus Hambalang.

Dari permasalahan ini sangat jelas, bagaimana loyalis Anas berupaya membebaskan Anas dari jeratan hukum. Padahal sangat jelas kasus ini tidak bermuatan politis, namun sangat jelas telah terjadi pelanggaran hukum. Tak beralasan jika kubu Anas bersikukuh bahwa pimpinan mereka tak bersalah. Realitas telah menunjukan tuduhan yang disampaikan kubu ini kepada SBY, hanya berupaya memperkeruh situasi. Pada hal Nazarudin kerap menyebut nama Anas. Bahkan dirinya menuding Anas lah otak dibalik semua kasus Hambalang. Dipemberitan lain waktu pun, terus dikumandangkan mantan bendahara umum PD era Anas. Bahkan, Nazarudin dengan berani memberikan jaminan di atas 100 persen, bahwa  Anas yang mengatur dan menerima proyek Hambalang.

Dan Nazar pun mengungkapkan pembelian  Harrier di PT Duta Motor pada 12 September 2009 dengan uang tunai Rp 150 juta dan cek dari PT Pasific Putra Metropolitan bernilai Rp 520 juta. Mantan Bendahara Umum PD mengatakan Harrier yang dibelinya dimaksudkan agar Anas mengusahakan PT Adhi Karya menjadi pelaksana proyek Hambalang. Berulang kali Nazarudin menyatakan dirinya dan Angelina hanya korban ambisius Anas untuk menjadi ketua Demokrat.

Langkah KPK menetapkan pasal 12 huruf A atau pasal 11 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana diubah menjadi Undang-undang Nomor 21 tahun 2002, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menurut saya langkah tepat. setidaknya langkah ini menunjukan bahwa hukum tetap hukum, siapapun yang melanggar patut menerima ganjaran. Tak beralasan bagi loyalis Anas pasca tuntasnya kasus Sprindik, untuk tetap beranggapan ada konspirasi dibalik kasus ini. Sepatutnya loyalis Anas memberikan contoh yang baik kepada masyarakat, bukan sebaliknya menjadikan politik sebagai kekuatan hukum. Saya secara pribadi meminta KPK untuk meingkatkan penyelidikan terhadap kasus Anas, termasuk kemungkinan melakukan tindakan hukum (penahanan dan pemeriksaan lebih lanjut)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline