Baru-baru ini berita mengejutkan datang dari BEM FISIP Universitas Airlangga yang membuat karangan bunga dan 'kritik' dengan dalih ucapan selamat kepada Presiden dan Wakil Presiden terpilih, Ir. Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Foto ucapan selamat tersebut ditempatkan di halaman Fakultas FISIP Universitas Airlangga di hari dilantiknya Presiden dan Wakil Presiden dan langsung menjadi sorotan publik ketika diunggah oleh beberapa akun di media sosial. Banyak orang menilai bahwa apa yang tertera adalah kata-kata hinaan alih-alih kritik. Bahkan, Ketua, Wakil Ketua, dan Menteri Politik BEM FISIP sempat dibekukan selama 3 hari oleh Dekanat FISIP, Prof. Bagong Suyanto. Namun, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi segera menanggapi hal itu dan meminta Dekanat mencabut surat pembekuan ketiga pemegang jabatan fungsional BEM FISIP tersebut.
Polemik ini menuai pro dan kontra di antara masyarakat. BEM Unitomo dan UWK termasuk dua pihak yang mengecam pembekuan BEM FISIP Universitas Airlangga, sementara di kalangan masyarakat, tidak sedikit yang menyayangkan tindakan BEM FISIP Universitas Airlangga yang melenceng dari koridor akademik dan tidak sesuai dengan motto excellence with morality yang diusung Universitas Airlangga sebagai cita-cita dan harapan universitas.
Mahasiswa, sebagai insan akademika yang berinteligensi, harusnya berpegang teguh pada etika akademik, sosial, dan komunikasi. Etika, dikutip dari Etika Akademik, Jurnal Pendidikan dan Konseling (2022) oleh Sagala S., adalah ilmu tentang kebaikan dan keburukan , hak dan kewajiban moral yang dimiliki seorang untuk mengontrol perilaku sehingga tidak merugikan banyak pihak. Dari makna tersebut, maka etika akademik, sosial, dan komunikasi dapat disimpulkan sebagai ilmu tentang nilai-nilai kebaikan dan keburukan, hak dan kewajiban moral yang dimiliki setiap insan akademika untuk mengontrol perilaku dan tata komunikasi supaya tidak menimbulkan keburukan pada kehidupan sosial.
Dalam kehidupan kewarganegaraan di negara demokrasi, kritik tentulah diperbolehkan sebagai bentuk partisipasi dan kontribusi masyarakat untuk menciptakan pemerintahan yang sehat dan memegang teguh amanat rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Namun perlu ditekankan bahwa Indonesia memiliki landasan ideologis berupa Pancasila yang berperan sebagai sumber dari segala sumber hukum. Seluruh warga negara berkewajiban untuk memegang teguh Pancasila sebagai pedoman hidup agar tercipta keselarasan antar warga negara dalam mewujudkan bangsa yang terintegrasi. Pancasila, kemudian melandasi terbentuknya Undang-Undang, termasuk Pasal 218 ayat (1) KUHP ynag menyebutkan, "Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahum 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV." Tidak hanya Presiden dan Wakil Presiden, seperti disebutkan pada Pasal 310 ayat (1) KUHP yang berbunyi, "Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama 9 bulan atau pidana denda paling banyak 4,5 juta." Tidak hanya itu, adapun penghinaan secara lisan diatur dalam Pasal 433 ayat (1) KUHP tentang pencemaran naab baik secara lisan, juga Pasal 311 ayat (1) KUHP yang mengatur tentang fitnah, 315 KUHP tentang penghinaan ringan, 317 KUHP tentang pencemaran yang bersifat memfitnah dengan pengaduan, dan Pasal 320 KUHP tentang pencemaran nama baik kepada orang yang sudah mati.
Selanjutnya yang perlu dipahami dan sesuatu yang krusial dalam penyampaian kritik adalah tata bahasa dan kata-kata yang digunakan. Kritik, menurut Kamus Besar Bahasa Indinesia (KBBI) adalah kecaman atau tanggapan, kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dan lain sebagainya. Tujuan kritik adalah memperbaiki suatu regulasi atau sebagai penilaian terhadap suatu pendapat, peristiwa, tingkah laku, dan sebagainya. Sementara hinaan adalah perbuatan yang menyerang kehormatan dan nama baik seseorang, dapat berupa kata-kata tak senonoh, merendahkan, dan mencemooh terlepas dari sengaja atau tidak sengaja. Dari definisi kedua kata tersebut, terdapat perbedaan yang jelas. Kritik adalah tanggapan, tetapi hinaan adalah cemoohan atau olok-olokan. Yang perlu diketahui, bahwa tanggapan dan olok-olokan atau hinaan tidaklah sama. Tanggapan, didasari oleh obyektivitas terhadap sesuatu yang diamati, didengar, atau dialami dan disampaikan dengan tutur kata yang beretika, tetapi olokan atau hinaan bersifat subyektif dan menyerang pribadi atau golongan. Bahkan tak jarang, hinaan dapat berubah menjadi fitnah yang mencemari nama baik seseorang atau golongan dan mempermalukan sehingga hilang rasa hormat dan kepercayaan orang lain terhadap korban.
Setiap insan tentulah memiliki hak-hak yang patut didapatkan. Mengkritisi hal-hal yang dirasa kurang, baik dari pemerintah, golongan, atau individu memang perlu dilakukan demi kesejahteraan dan kenyamanan hidup. Namun, pemikiran kritis atas hak-hak yang seharusnya didapat atau kebijakan dan peristiwa yang dirasa tidak sesuai dengan kondisi diri, lingkungan hidup, bahkan bangsa tidak sepantasnya dikeluarkan dalam bentuk ynag tidak mencerminkan nilai luhur budaya, falsafah, dan ideologi negara yang beradab dan bermoral. Jadi, jangan sampai salah membedakan kritik dan hinaan, pikirkan dulu sebelum bertindak. Jangan sampai apa yang dilakukan menghancurkan nama baik dan moralmu sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H