“Pulang ke kotamu.. ada setangkup haru dalam rindu Masih seperti dulu Tiap sudut menyapaku bersahabat, penuh selaksa makna Terhanyut aku akan nostalgi Saat kita sering luangkan waktu Nikmati bersama Suasana Jogja…” Kembali ke Jogja. Setelah beberapa waktu tertunda akhirnya saya menginjakkan kaki kembali di kota pelajar ini. Tidak ada yang berubah selain semakin padat akan turis dan selalu berhasil membuat rindu saya naik sepenggelan leher. Perjalanan kali ini saya tidak memiliki rencana mengunjungi tempat tertentu. Semua murni hanya untuk menebus kerinduan semata. Namun, saya teringat akan sebuah tempat yang sejak lama saya cari. Sebuah tempat yang langsung membuat saya jatuh cinta dan ingin sekali pergi ke sana. Ullen Sentalu. Dua tahun lalu saya menyengajakan diri untuk datang ke Kaliurang untuk mengunjungi tempat ini. Tapi sayang sekali, saya kesulitan menemukannya. Kini, saya mencobanya sekali lagi. Berbekal informasi yang seadanya (karena di google pun sangat sedikit info untuk menuju ke tempat ini) saya berangkat berbekal niat yang bulat. Tidak ada angkot atau bis yang langsung menuju Kaliurang. Hanya peta TransJogja dan hasil bertanya dengan penduduk sekitar yang pada akhirnya membawa saya tiba di Taman Kaswargan, Kaliurang. Turun di halte Ngabean, perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan mobil Elf300. Kondisinya cukup ‘mengenaskan’ mengingat jalan Kaliurang yang menanjak. Elf300 ini sering terbatuk dan mengeluarkan bau yang tak sedap. Lumayan mengganggu. Lagi-lagi saya bertanya kepada pak supir serta penumpang lainnya, apakah mereka tahu lokasi persis museum Ullen Sentalu. Kembali, hasilnya nihil! Ternyata tidak semua orang Jogja asli, Kaliurang lebih tepatnya, tahu informasi tentang museum ini. Angkot tiba di pasar pakem. Tidak ada angkot lain yang akan lewat selama musim libur lebaran ini. Mau tidak mau saya menggunakan jasa ojek menuju atas. Tawar menawar harga terjadi, tapi untunglah masih termasuk harga yang masuk akal meskipun liburan. Tak berapa lama, saya tiba di Museum Ullen Sentalu. Kalau saja saya tidak malu, mungkin saya sudah salto dan lari-lari keliling kaliurang, hehe.. Seperti mimpi yang jadi nyata! [caption id="attachment_549" align="aligncenter" width="604" caption="Gerbang masuk museum Ullen Sentalu"] [/caption] Padahal dulu saya melewati daerah ini berkali-kali tapi tidak ketemu. Karena tidak ada plang petunjuk arah. Sekarang, sudah ada plang petunjuk arah yang cukup eye catchy untuk dilihat siapa saja. Berhubung libur panjang, pengunjung sore itu cukup padat. Saya tiba tepat pukul 3, sedangkan museum tutup pukul 4 sore. Lama tur yang disiapkan adalah 50 menit, bisa dibilang saya masuk dalam rombongan terakhir. Telat sedikit saja, saya harus kembali keesokan harinya, kecuali saya datang dengan rombongan besar tentu akan ada pengecualian. Saya harus membayar tiket masuk sebesar 25 ribu untuk mengikuti tur selama 50 menit, itu sudah termasuk harga guide, welcome drink, dan buku panduan. Sedangkan untuk anak-anak dikenakan biaya 15ribu. Untuk turis asing, harganya sedikit berbeda 50ribu untuk dewasa dan 25ribu untuk anak-anak. Harga yang sedikit mahal untuk ukuran tiket masuk museum di Jogja, tapi sangat masuk akal dan sebanding dengan apa yang didapatkan. Trust me! [caption id="attachment_550" align="aligncenter" width="604" caption="Tiket masuk museum Ullen Sentalu"] [/caption] Mba Rina, pemandu saya sore itu. Saya dimasukkan ke dalam rombongan keluarga asal Jakarta, total dari kami adalah 19 orang. Hufff..jumlah yang lumayan banyak. Jadi saya memilih ‘ngintil’ Mba Rina dari dekat jika tidak mau ketinggalan info yang ia berikan. Memasuki museum ini saya seperti kembali kemasa kejayaan kraton Jawa, dulu sekali. Tumbuhan besar-besar dengan sulur-sulur panjang dan jalan setapak dari batu membuat saya seperti terlempar ke masa silam. Udara segar mengisi peparu yang kembang kempis karena senang. Museum yang diresmikan di tahun 1997 ini diprakarsai oleh Keluarga Haryono yang masih termasuk dalam keluarga keraton Yogyakarta. Museum Ullen Sentalu ini berada di kawasan Taman Kaswargan yang secara filosofis, nama Kaswargan dipilih karena terletak di ketinggian lereng Gunung Merapi, di mana kultur masyarakat Jawa menganggap Gunung Merapi sebagai tempat sakral. Taman Kaswargan berada dalam suatu ‘historical district’, yaitu kawasan bersejarah seperti Pesanggrahan Ngeksigondo dan Wisma Kaliurang. Kata Ullen Sentalu sendiri kependekan dari Ulating Blencong Sejatine Tataraning Lumaku, atau yang bisa diartikan nyala lampu blencong merupakan petunjuk manusia dalam melangkah dan meniti kehidupan. Sedangkan blencong adalah lampu minyak yang biasa digunakan untuk pertunjukan wayang kulit. Museum yang memiliki luas lebih dari 10ribu m2 ini dibagi-bagi ke dalam beberapa ruangan. Ruangan pertama diberi nama Ruang Seni dan Gamelan, dimana saya disuguhi seperangkat gamelan yang pernah digunakan untuk pertunjukkan wayang dan pagelaran tari di kraton Yogyakarta. Selanjutnya Mba Rina menggiring kami ke sebuah lorong menuju bawah tanah, Guwo Selo Giri. Lampu yang kian temaram, lorong sempit yang hanya cukup dijajari oleh dua orang dan langit-langit yang tinggi tidak mengurangi keasyikan menyusuri museum ini. Foto dan dokumentasi yang berasal dari jaman dinasti Mataram Islam; Kraton Yogyakarta, Surakarta, Pakualam serta Mangkunegaran dijelaskan dengan sangat fasih dan cepat oleh Mba Rina, si pemandu tur. Terbayang di benak saya, betapa besar dan sangat berpengaruhnya kerajaan Mataram Islam dulu kala. Bahkan sudah mulai terjamah oleh dunia modern sesuai dengan masanya. Betapa pedulinya Sultah HB IX terhadap rakyatnya pun rakyatnya mencintai beliau. Sultan yang pada masa itu memang orang yang kaya raya, membantu proses kemerdekaan Indonesia dengan menyumbangkan 6 juta gulden. Bayangkan saja, 6 juta gulden disumbangkan dengan cuma-cuma demi negerinya! Tidak hanya itu, gaya hidup putri-putri dan permaisuri kraton juga cukup modern. Sebut saja Raden Ayu Kuspariyah ibunda PB XII yang mahir bermain piano dan biola, serta menguasai beberapa bahasa asing dengan fasihnya. Ada beberapa lukisan yang memberikan kejutan kalau diperhatikan dengan saksama. Mulai dari lukisan itu sendiri hingga piguranya. Masih ingin berlama-lama dan menyelami setiap detil dari lukisan yang tertata dengan apiknya, saya harus berpindah ke area selanjutnya, Kampung Kambang. Ruangan yang ada di area kampung kambang terletak di atas kolam air. Bukan kolam besar, hanya seperti parit dengan lebar 50cm yang berisi macam-macam ikan hias dan juga kecebong. Ruangan pertama yang saya sambangi di Kampung Kambang adalah Ruang Syair. Ruang yang berisi puisi-puisi hasil karya GRAj Koes Sapariyam atau yang kerap disapa Tineke, dan juga surat-surat yang ditujukan untuk beliau, baik dari keluarga, kerabat, dan juga para sahabat. Syair dan puisi ini dikirimkan oleh teman-teman beliau demi mengobati rasa sedih yang sedang melanda beliau karena cintanya tak disetujui oleh ibundanya. Di sini, saya begitu terhanyut dengan ratusan puisi yang tertulis untuk beliau. Begitu sederhana, manis, dan terasa damai di hati. Hmm..andai saja tulisan-tulisan itu dibukukan! Royal Room Ratu Mas, merupakan ruangan yang dipersembahkan khusus untuk permaisuri PB X. Ruangan ini berisi koleksi lukisan, foto, serta barang pribadi milik permaisuri. Dari berbagai macam koleksi yang saya temukan, saya bisa menarik kesimpulan kalau sang permaisuri adalah seseorang y ang cukup modis dan melek fashion pada masanya. Belum lagi rasa kagum ini tuntas, (lagi-lagi) saya harus takjub melihat berbagai macam koleksi batik yang biasa digunakan oleh keluarga kerajaan. Di sini dijelaskan perbedaan yang mendasar antara batik kraton Surakarta dan kraton Yogyakarta. Warna dasar untuk batik Solo atau Surakarta adalah sogan atau kuning gelap menuju cokelat. Sedangkan batik Yogyakarta warna dasarnya adalah putih. Setiap corak batik yang ada pada kain, memiliki filosofi yang dalam. Tidak boleh sembarangan dalam menggunakannya. Misalnya saja Batik Sidomukti yang bermakna sebuah harapan kebahagiaan lahir batin. Motif Truntum, biasanya digunakan oleh orang tua pengantin pada saat acara pernikahan, karena makna dari batik itu adalah menuntun. Dan masih banyak yang lain (maaf, memori saya agak terganggu dibagian ini, hehe). Keluar dari Royal Room Ratu Mas, saya dibuat terpana oleh sebuah foto yang menyambut saya saat memasuki sebuah ruangan. Ruang Putri Dambaan. Foto ini cukup akrab dengan saya beberapa tahun silam, dan yang menjadi salah satu alasan saya ingin mengunjungi Ullen Sentalu sejak dulu. GRAy Siti Nurul Kamaril Ngarasati Kusumawardhani Soerjosoejarso atau yang biasa disapa dengan sebutan Gusti Nurul merupakan pemilik ruangan pribadi ini. Beliau memang sangat cantik dan menjadi dambaan banyak orang penting pada masanya. Parasnya yang ayu, luwes dalam menari, pandai berkuda, fasih banyak bahasa, dan pribadinya yang humble selalu membuat putri Mangkunegaran VII ini jadi incaran banyak pemuda. Beliau pun pernah menampilkan sebuah tarian di pernikahan Putri Juliana di Belanda. Uniknya, Gusti Nurul menari diiringi oleh gamelan yang suaranya keluar melalui telepon dari Solo. Bayangkan saja, saat itu teknologi sudah cukup berkembang pesat! Karena kecantikan Gustri Nurul yang sudah tersohor ke penjuru negeri, membuat banyak orang berlomba-lomba untuk meminangnya. Sebut saja Sultan Hamengkubuwono IX, Sutan Sjahrir hingga Soekarno mencoba untuk melamarnya. Namun Gustri Nurul mempunyai sebuah prinsip yang teguh ia pegang sampai ia menikah, bahwa ia tak akan menikah dengan politisi dan enggan dipoligami. Karena prinsipnya ini, Gusti Nurul baru melepas masa lajang di usianya yang ke-30 dengan Kolonel Soejarso, pria pilihannya sendiri. Bukan dari kalangan ningrat ataupun politisi. Koridor Retja Landa, koridor ini memuat banyak sekali patung dewa dewi hindu dan budha dari abad 8 Masehi. Di gerbang awal, saya disuguhi sebuah arca yang sudah sangat ‘akrab’ dimata saya. Ganesha. Perut Ganesha yang buncit ternyata memiliki filosofi yang menarik. Konon katanya, di dalam perut yang buncit itulah letak Ganesha menyimpan ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan. Hmm..kontan saja, para pria yang ada di dalam kelompok saya tertawa senang, seperti ada sebuah pembelaan jika ditanya perihal perut yang buncit. Hihihi… Menuju ruang terakhir, Sasana Sekar Bawana saya melihat beberapa bangunan baru yang sedang dipersiapkan. Bangunan ini diebntuk seperti kastil-kastil batu dari abad pertengahan. Ada juga pelataran luas yang berisikan patung asimetris yang menambah keren tampilan museum secara arsitekturnya. O ya, di Sasana Sekar Bawana, saya disuguhi berbagai macam lukisan dan juga patung-patung. Diantaranya adalah lukisan Sri Sultan HB X dan permaisuri Ratu Hemas sedang menerima kunjungan kenegaraan dari Pangeran Charles dan Putri Diana. Ada juga lukisan tari Bedaya Ketawang yang sakral dan sedikit berbau mistis, karena menampilkan 9 penari dan Kanjeng Ratu Kidul yang digambarkan menerawang sebagai penari kesepuluh. O ya, welcome drink yang termasuk dalam paket tur ternyata minuman rahasia racikan Kanjeng Ratu Mas yang konon katanya bisa bikin awet muda. Warna minumannya merah kecokelatan dengan aroma khas yang menggelitik hidung. Saat disesap, ada rasa cengkeh, jahe, gula merah, dan juga serutan kayu secang yang saya rasakan. Hmm..hangat dan enak! Di Ullen Snetalu, setiap pengunjung juga bisa mengikuti kelas menari yang diadakan di salah satu ruangan. Saat itu saya melihat beberapa bocah sedang asyik berlatih sebuah tarian. Hmm..sepertinya saya harus mengagendakan waktu khusus untuk belajar menari di tempat ini. Tanpa terasa, 50 menit sudah saya berkeliling di museum Ullen Sentalu. Saya bahkan terlalu bingung bagaimana merangkum seluruh informasi dan cerita yang saya dapat. Saya terlalu takjub dan berjanji pada diri sendiri akan datang ke tempat ini lagi saat berkesempatan singgah di Jogja. I fall in love with this place, for a thousand times! PS: berhubung tidak boleh mengambil foto-foto di tempat ini, saya hanya bisa memasukkan beberapa foto taman dan juga suasa di luar museum.
Jogja, 26 Oktober 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H