Lihat ke Halaman Asli

De Jure No

Diperbarui: 17 Juni 2015   06:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ring ! Ring ! Ring!

Sudah ku tunggu, bel istirahat terindah yang menyelamatkan ku dari tekanan pelajaran Matematika. Pelajaran yang cukup tenar, sebagai pelajaran yang harus di pahami mati-matian. Tapi, sudahlah, bel yang membebaskan ku dari cekikan Matematika pun terlepas. Bagi seorang siswa yang cukup malas, aku merasa bebas.

Tak jauh beda dengan anak – anak yang lain, aku pun dengan sergap membereskan meja. Memasukan buku dan alat tulis kedalam tas. Menjauhkan diri dari kursi eksekusi, berjalan malas kedepan ruang kelas.

“Kenapa ga pernah ke kantin sih?” Tanya ku, pada dia yang sudah asyik dengan kesendiriannya di kursi depan ruang kelas. Sembari ku langkahkan kaki menuju ia duduk.

“Istirahat ga harus makan, kok.” Jawabnya, memalingkan wajah kearah ku dan aku semakin mendekatinya. Hanya mendekatinya, tidak lebih. Pecundang seperti ku, hanya bisa mendekatinya dari kejauhan. Dari ambang pintu, mencuri- curi pandangan ke arahnya yang selalu duduk di depan ruang kelas.

Tertawa dan tersenyum tak jelas, setiap kali aku tertangkap basah aku sedang memandangnya. Kacamata berlensa tebal, akibat terlalu sering membaca novel – novel yang tidak akan pernah ku jamah sekalipun, namun aku berharap kau merasakan tekstur getaran jantung ku setiap kali aku berhadapan dengan mu. Sangat tak beraturan! Dan kau tidak akan pernah tahu itu.

“Kalau kita reunian nanti, kira - kira aku kaya gimana ya?” seringainya, bertanya tanpa mengalihkan pandanganya kearah ku,tapi aku tahu dia serius. Dan sejenak suasana menjadi tenang dan tenggelam.

“Kau masih mengenakan kacamata, penutup kepala,berjalan tanpa banyak bicara, teriak – teriak kali kita akan bertemu. Dan kamu masih sendirian.” Secara sepontan, aku mengatakannya tepat seperti yang kubayangkan, namun sayang. Ucapan ku terhenti.  “Mungkin kamu akan berjalan, disamping ku. Dan teman – teman akan terkejut dengan kedekatan kita yang lebih dekat” tapi tak sempat terucap, yang sudah cukup sadar siapa aku.

Kau selalu sama. Sama disetiap kali mendapati mu, seonggok manusia membaca buku, seperti kali pertama kami bertemu, tepatnya diawal September. Dia membaca novel roman, yang dikelilingi kerumunan temannya, tak merasa terganggu atau terasa bising, dia masih serius membaca, Itulah kamu, dengan kacamata warna janda, dengan lensa anti radiasi cahaya.

“Wah pasti aku benar – benar menawan!” dengan percaya dirinya,

Kami tertawa, tertawa sepuasnya. Dua manusia yang selalu menghabiskan jam – jam istirahatnya hanya dengan duduk dan berbincang. Tertawa untuk menyembunyikan perasaan, bagi seorang pecundang aku cukup ada pada pecundang kelas kakap. Menyatakan cinta, pada selubungan percakapan biasa.

Kata - kata yang terlontar, bisik – bisik yang masih terdengar, perilaku tidak jelas yang tidak perlu dijelaskan. Aku melihat mu dari sini, tapi kamu tidak pernah melihat dirimu sediri ada pada perasaan ku ini, Andaikan perasaan ini adalah novel roman yang setiap kali kau baca, kuharap kau tau makna disetiap detakannya. Ah, aku selalu mengharapkan lebih dari mu.

Ring ! Ring ! Ring !

Dering handphone menyadarkan ku, ternyata sedari tadi membaca de jure no , nama buku harian ku SMA, rasanya baru saja aku duduk berdua didepan ruang kelas. De jure no, lembaran kuning mencoklatnya masih sama. Menghidupkan lagi dia yang dulu nyata, kini sekadar memori belaka. Yang masih mengharapkan untuk bertemu, namun berusaha tidak mencari.

Tak kusangka, harapan ini muncul lagi setelah aku membuka lembaran – lembaran kisah dimasa SMA. Aku yang cupu dan pengecut, sedangkan belum sempat ku ungkapkan perasaan ini. Bagaimana bisa, hanya membaca buku usang ini, aku sudah mendarat pada memori 10 tahun yang lalu dengan tepatnya.

Aku menyeringai, tersenyum, hingga tersenyum mengembang setelah berlandas cukup lama di tahun 2005 April, di depan ruang kelas. Sampul bermotif kotak merah, dengan jari – jari ku yang selalu mengikuti guratan – guratannya, dengan mantra ku buka dan dengan mesin waktu ku sampai tempat pada waktu dan posisi ku.

Buku yang tak kusangka, sebagai pemberangkatan dan landas ku, pada sebuah memori – memori yang tak dapat otak jangkau. Bandara ku, selama 30 menit aku menikmatinya, persis seperti aku menikmati waktu – waktu bersamanya.

Sampul kotak merah, membuat ku tertawa pada apa yang dulu aku tertawakan untuk masa depan ku sekarang ini, dan sekarang aku menertawakan pada apa yang dulu ku tertawakan untuk masa depan sekarang ini. Kumpulan lembaran , seperti mantra. Membawakan ku pada masa lalu, dan mengulang perasaan yang sama itu. Aku masih mengharapkan mu, dengan aku yang masih sama seperti dulu. Diam, dalam perasaan. Pengagum mu, yang selalu membaca buku roman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline