Lihat ke Halaman Asli

Ku Dengar dengan Harap

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku membungkam. Percakapan yang saat itu cukup membuat ku tercengang. Belum siap. Belum ku persiapkan, tuk ku hadapi hal itu. Tapi, bagi ku seorang lelaki harus berani menghadapinya. Fisik, iya! Termasuk untuk hati.
Wanita sakit, dengan luka. Cukup mencarikan obat. Bagi pria, memerlukan usaha yang keras untuk benar benar mengubur kenangan itu. Hingga tak tercium sedikit pun aromanya. Sekali pun harum mawar yang terkacar di atas makam.

Seseorang mendekat ke arah ku. Ah, hentakan sepatu itu. Decitan yang terselip ditiap langkah. Telah ku terka apa yang akan ku ucap.

“Aku hanya tidak enak badan.”  Jawab ku datar. Dan masih tergeletak lemas di atas meja.

“Oke, panggil gua ya kalo lo butuh sesuatu”  dengan meninggalkan senyum.

Entah mengapa, setelah aku membungkam sepertinya semakin kuat rasa dan kenangan itu. Bukan berarti aku ingin menguburnya. Aku hanya ingin menyadari lebih dalam. Tentang kenyataan, tentang kepastian, tentang perasaan dan tentang apa yang telah selama ini memburu ku. Memburuku seakan aku terlihat seperti keledai.

Bodoh. Mungkin, tapi tak sepenuhnya. Otak ku masih berfungsi layak. Meski hari hari ku, selalu terselip harap dan angan, untuk mengajaknya “ kembali”.

Sesal, sempat ku ucap tuk menolak kembali ke masa itu bersama. Ha? Benar benar seperti keledai kehilangan akalnya. Emosi ku yang tak terkontrol waktu itu, membawa ku untuk mengatakan yang tak sejujurnya. Hanya karena aku tak ingin terlihat lemah.

Sejak awal, aku hanya ingin merasakan indahnya masa muda. Masa muda dengan penuh rasa, karsa, dinamika dari sebuah kata yang sering kita sebut cinta. Entah, benarkah rasa “ini” yang masih membekas adalah korban dari cinta?

Korban? Apakah cinta pembantai? Ia datang dengan modus kebahagiaan dan menyisakan jantung yang tersayat? Ku rasa bukan. Itu bukan cinta. Tapi, aku juga tak banyak tahu tentang cinta.  Ah, sudahlah.

“Kenapa harus ketemu dia,sih?” batin ku dengan mengerutkan dahi. Yang ku batinkan sepanjang perjalanan menuju ruang kelasnya.

Kali ini, sang ketua meminta ku untuk menyampaikan pesan pada “dia”. Untuk membuat proposal program kerja bulan depan. Dan, rapat bakal berjalan rutin. Ah… kesibukan ini, membuat ku semakin dekat. Tapi apa boleh buat? Niat, untuk rapat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline