Pengantar
Pendidikan merupakan salah satu tema sentral dalam pemikiran filsafat Aristoteles (367-345 SM). Sebagai salah satu filsuf besar dalam sejarah, Aristoteles memberikan kontribusi yang signifikan terhadap konsep pendidikan. Dalam pandangannya, pendidikan tidak hanya berfungsi untuk mentransfer pengetahuan tetapi juga untuk membentuk karakter dan moral individu. Aristoteles menekankan pentingnya pendidikan dalam mencapai kebahagiaan dan kehidupan yang baik, sebagai individu dan warga negara.
Lazim kita mendengar bahwa pendidikan merupakan proses pembelajaran seumur hidup yang melibatkan perolehan pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap. Pendidikan diibaratkan sebuah perjalanan yang terus-menerus untuk mengembangkan diri, baik secara intelektual, emosional, maupun sosial. Pendidikan tidak hanya terjadi di dalam ruang kelas, tetapi juga di lingkungan keluarga, masyarakat, dan melalui pengalaman hidup sehari-hari. Meski demikian, Aristoteles melihat krusialnya pendidikan tersistem (sekolah formal), artinya pendidikan dalam sebuah komunitas atau instansi tertentu sangat penting dilakukan untuk mengembangkan potensi individu.
Pendidikan dalam konteks formal sesungguhnya membantu setiap individu mencapai potensi maksimal mereka dalam berbagai aspek kehidupan. Pendidikan menyiapkan individu untuk masa depan dengan memberikan pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk menghadapi tantangan (dunia kerja dan kehidupan modern serta birokrasi negara) hidup. Dengan adanya pendidikan tersistem juga diharapkan akan menumbuhkan kesadaran akan nilai-nilai nilai moral, etika, dan sosial yang penting untuk kehidupan bermasyarakat. Dalam pandangan Aristoteles, selain membentuk karakter personal, pendidikan dalam konteks tersistem diperuntukkan untuk membentuk warga negara yang baik. Dengan pendidikan, negara mendidik individu menjadi warga negara yang bertanggung jawab, demokratis, dan peduli terhadap lingkungan. Tentu saja poin Aristoteles tidak tanpa argumentasi dan langkah praktisnya terkait pandangannya ini.
Pandangan Aristoteles tentang Pendidikan
Aristoteles lahir pada tahun 394 SM di Stagira, sebuah kota kecil di semenanjung Chalcidies di sebelah barat laut Egea. Ayahnya Nichomachus adalah seorang dokter yang merawat Amyntas II, salah satu raja Macedonia. Ayahnyalah yang mengatur Aristoteles menerima pendidikan lengkap dari masa kanak-kanak dan mengajarinya ilmu kedokteran dan teknik pembedahan. Ayah dan ibunya, Phaesta, mempunyai nenek moyang terkemuka. Di usianya yang ke 17 tahun, Aristoteles belajar di Athena di sebuah Akademi yang didirikan oleh Plato. Aristoteles menjadi diketahui menjadi murid terbaik Plato dan menunjukkan bakatnya yang luar biasa dalam berpikir dan menerapkan logika (A. Setyo Wibowo, 2006, 15-18)
Aristoteles mendirikan sekolahnya sendiri yang bernama Lyceum. Aristoteles mengajar para muridnya dalam berbagai disiplin ilmu, mencakup politik, etika, fisika, biologi, dan metafisika. Aristoteles menulis banyak karya dalam hidupnya yang mencakup berbagai ranah pemikiran. Beberapa karyanya yang terkenal antara lain Metaphysics, Nicomachean Ethics, Politics, Physics, dan Poetics (Irawan; 2023, 3). Karya-karyanya ini kerap menjadi rujukan filsafat barat dan ilmu-ilmu yang berkembang saat ini.
Pandangan Aristoteles tentang pendidikan terutama ditemukan dalam buku Ethica Nicomachea dan Politica. Dalam dan dengan pendidikan, pendidik berusaha untuk menghasilkan dengan pelbagai latihan, orang-orang (baik laki-laki maupun perempuan) yang akhirnya memiliki rasio serta keutamaan. Walaupun dalam konteks pendidikan sebagai warga negara, perempuan pada masa Aristoteles masih belum dianggap sebagai warga negara. Uraian tentang pendidikan dalam Politica pun lebih dipusatkan pada tindakan-tindakan yang harus diambil oleh negara untuk memungkinkan terwujudnya hidup yang baik untuk para warga. Dalam Politica itu Aristoteles menunjukkan kepercayaannya bahwa pendidikan harus dikontrol dan dikendalikan oleh negara dan tidak boleh diserahkan ke dalam tangan swasta.
Poin Aristoteles yang menekankan pendidikan harus diambil alih oleh negara tentu problematik, khususnya dengan mempertimbangkan fenomena belakangan yang menunjukkan bahwa justru pendidikan swasta (maraknya video anak SD, SMP, dan SMA yang tampak tidak mengetahui ilmu-ilmu dasar) lebih terlihat kompeten. Akan tetapi Aristoteles mempunyai argumentasi yang menarik. Asumsi umumnya adalah orang baik sebagai individu pastinya warga negara yang baik kalau tidak hal ini akan kontradiktif. Asumsi Aristoteles berbeda dengan asumsi umum ini karena menurutnya seorang individu yang baik belum tentu warga negara yang baik, demikian sebaliknya warga negara yang baik belum tentu seorang individu yang baik.
Dalam pandangan Aristoteles, orang baik tetaplah sama tidak tidak tergantung pada aturan atau konstitusi negara. Karakter orang yang baik berangkat dari moralitas yang dipegangnya sebagai pedoman hidup sehari-hari. Sebaliknya, warga negara yang baik mengikuti aturan dan konstitusi negara. Apabila ada aturan berbeda dari negara atau konstitusi negaranya diganti, warga negara yang baik harus mengikuti. Karakter warga negara yang baik berdasarkan kesetiaannya pada konsep kewarganegaraan yang dimilikinya, apa peran dan tugasnya sebagai warga negara (Narmoatmojo; 2012, 27).
Asumsi di atas tentu saja ada unsur pengecualian atau dapat terjadi bahwa dua karakter yang baik terjadi bersama-sama dan semestinya itulah yang berlaku. Akan tetapi hal ini bisa sangat jarang terjadi, oleh karena itu dalam konteks hidup bernegara orang harus selalu siap untuk memerintah dan diperintah. Terkait hal inilah Aristoteles mengatakan pentingnya pendidikan khususnya pendidikan yang tersistematis dari negara. Aristoteles menegaskan supaya pendidikan di sebuah negara mestinya dibuat dengan sistem yang sama. Warga negara tidak hanya berkaitan dengan status dirinya sebagai individu tetapi juga sebagai warga negara ia harus merasa memiliki negaranya.