Lihat ke Halaman Asli

Sepis Jandung

Mahasiswa Aktif

Meninjau Kekerasan Seksual di Indonesia dalam Kemanusiaan ala Katolik

Diperbarui: 22 April 2022   15:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Meninjau Kekerasan Seksual di Indonesia dalam Kemanusiaan a'la Gereja Katolik

Pengantar

Kekerasan seksual bukanlah kasus yang asing lagi didengar oleh manusia zaman sekarang termasuk manusia di Indonesia. Wanita atau pria, tua hingga anak-anak, memakai baju terbuka maupun tertutup, semuanya tetap berpotensi menjadi korban kekerasan seksual. Kenyataan miris mesti diakui bagsa Indonesia dalam kasus kemanusian khususnya berkaitan dengan kasus pelecehan seksual ini. Berbagai berita menunjukan kebiadaban beberapa manusia yang dengan sengaja merusak manusia lain secara fisik dan lebih berbahaya lagi terhadap mental mereka. Pelaku-pelaku ini bukan tidak pernah sekolah atau tidak sadar melainkan memang secara sengaja melakukannya. Korban Pun berjatuhan dan seringkali memberi trauma yang sulit disembuhkan.

Tantangan kemanusian berupa kekerasan seksual ini tentu hal yang relevan dibicarakan dan dicarikan solusinya. Bangsa Indonesia yang notabene memberi pendasaran yang jelas pada kemanusiaan yang berdab dan adil tentu sangat kontradiksi dengan kenyataan seperti ini. Semua pihak mesti sadar akan bahaya besar yang ditimbulkan. termasuk Gereja katolik. Gereja katolik sudah dan akan selalu menjadi bagian dari negara Indonesia. Tulisan ini hendak melihat dan mendasarkan diri pada argumen Gereja Katolik tentang kemanusiaan dan implikasinya terhadap menjawab tantangan kasus kemanusiaan seperti kekerasan seksual.

Kenyataan Kasus kekerasan seksual di Indonesia yang Miris

"Kekerasan seksual adalah setiap tindakan, baik berupa ucapan maupun perbuatan yang dilakukan seseorang untuk menguasai atau memanipulasi orang lain serta membuatnya terlibat dalam aktivitas seksual yang tidak dikehendaki."[1] Survei membuktikan bahwa kekerasan seksual dapat terjadi pada siapapun dengan penampilan seperti apapun.

Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) dalam jumpa pers yang dihadiri media massa menunjukkan sebagian hasil survei tentang busana yang dikenakan saat responden mengalami pelecehan seksual. Ada lima jenis pakaian yang menempati peringkat teratas yakni rok, hijab, baju lengan panjang, seragam sekolah, dan baju longgar.

Dari keseluruhan responden yang mengalami pelecehan seksual, (17,47 persen) mengenakan rok panjang dan celana panjang, di peringkat bawahnya ada perempuan berbaju lengan panjang (15,82 persen), baju seragam sekolah (14,23 persen), serta pakaian lainnya hingga 19 jenis. Perempuan berhijab pendek/sedang (13,20 persen), berhijab panjang (3,68 persen), serta berhijab dan bercadar (0,17 persen) juga menjadi korban pelecehan. Bila dijumlahkan, sekitar 17 persen mengenakan hijab. Survei mengenai pakaian yang digunakan perempuan saat kena pelecehan seksual ini adalah bagian dari hasil survei nasional terkait pelecehan di ruang publik.

TIM Survei (KRPA), terdiri dari Komunitas Hollaback Jakarta, perEMPUan, Lentera Sintas Indonesia, Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta (JDFG), dan Change.org. Dalam survei ini, mereka menyatakan bahwa ada 62.224 responden yang berpartisipasi. Berdasarkan data yang didapat, mereka menyimpulkan pelecehan seksual tidak disebabkan oleh jenis pakaian. Alasan yang mereka utarakan ialah korban pelecehan seksual ternyata juga mencakup perempuan berpakaian terbuka dan berpakaian tertutup.[2]

 Berdasarkan data milik Komnas Perempuan pada tahun 2014, tercatat 4.475 kasus kekerasan seksual pada kaum Hawa, tahun 2015 tercatat 6.499 kasus dan tahun 2016 telah terjadi 5.785 kasus. Sedangkan data Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Fakultas Hukum Universitas Indonesia - berdasarkan pemantauan pemberitaan media online selama periode Agustus- Oktober 2017 - menyebutkan sedikitnya ada 367 pemberitaan mengenai kekerasan seksual. Sebanyak 275 di antaranya terjadi di Indonesia. Dari data tersebut, 73% atau paling besar terjadi di Pulau Jawa, diikuti Sumatera (13%), Papua (5%), Bali-NTB-NTT (4%), Sulawesi (3%) dan Kalimantan (2%). Lebih miris lagi bahwa kasus kekerasan seksual paling besar terjadi di rumah yakni 37%. Dari data tersebut disimpulkan bahwa tindakan kekerasan kerap dilakukan orang-orang terdekat korban. Sedangkan kekerasan seksual yang terjadi di sekolah sekitar 11% dan 10% di hotel. Kondisi Indonesia belakangan makin menguatkan asumsi bahwa Indonesia memang benar-benar dalam kondisi darurat kekerasan seksual. Selain kekerasan seksual terhadap anak, jumlah pemerkosaan di negeri ini juga tinggi. Hasil survei Komnas Perempuan secara daring dari 25.213 responden, sekitar 6,5% atau 1.636 orang, mengatakan mereka pernah diperkosa. Ironisnya, dari jumlah itu, 93% mengatakan mereka tidak melaporkan kejahatan tersebut, karena takut akibatnya.[3]

 Kekerasan seksual tidak diragukan lagi sangat berdampak negatif bagi korban. Menurut studi, 79% korban kekerasan dan pelecehan seksual akan mengalami trauma yang mendalam, selain itu stres yang dialami korban dapat mengganggu fungsi dan perkembangan otaknya. Dampak negatif yang kedua ialah dampak fisik. Kekerasan dan pelecehan seksual pada anak merupakan faktor utama penularan Penyakit Menular Seksual (PMS). Selain itu, korban juga berpotensi mengalami luka internal dan pendarahan. Pada kasus yang parah, kerusakan organ internal dapat terjadi. Dalam beberapa kasus dapat menyebabkan kematian. Kemudian dampak negatif yang ketiga pada bidang sosial. Korban kekerasan dan pelecehan seksual sering dikucilkan dalam kehidupan sosial. Masyarakat sering salah kaprah, hal yang seharusnya dihindari karena korban pastinya butuh motivasi dan dukungan moral untuk bangkit lagi menjalani kehidupannya malah memperparah situasi.[4]

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline