Indonesia merupakan salah satu Negara yang menjunjung tinggi supremasi hukum. Oleh karena itu, hukum harus dianggap sebagai otoritas terbesar dalam mengatur urusan Negara dan kemasyarakatan agar bisa mencapai tujuannya, yakni keadilan, kepastian, dan kemaslahatan. Meskipun demikian, terkadang terdapat kelemahan dalam penegakan hukum di Indonesia. Kita sering kali dihadapkan pada kasus-kasus kecil yang dipandang sebagai masalah besar di lingkungan sosial, sehingga berujung pada persidangan yang tidak logis.
Sementara itu, masih banyak orang tidak jujur yang berkeliaran di dunia dengan seenaknya dan sembarangan, memanfaatkan uang orang untuk kepentingannya sendiri. Karena menyakitkan dan menimbulkan penderitaan bagi orang lain, masalah ini sebenarnya sangat mematikan. Namun, ketika berhadapan dengan individu yang memiliki kekuasaan politik, kekayaan, dan status, keadaan seperti ini terkadang dianggap biasa saja, dan keadilan dikompromikan.
Namun ketika berhadapan dengan orang lemah yang tidak mempunyai kekuasaan apapun maka hukum menjadi sangat tajam, hal ini membuktikan tidak adanya keadilan dalam kehidupan bermasyarakat padahal dasar negara Pancasila ke 5 adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal serupa menimpa seorang Nenek Minah, yang dituding membawa buah kakao dari perkebunan Swasta di kawasan Banyumas.
Analisis kasus Nenek Minah
Kasus ini bermula saat ia didakwa mencuri tiga biji kakao dari PT Rumpun Sari Antan (RSA) 4. Mulai dari penyidikan polisi, penuntutan kejaksaan, hingga persidangan sendiri, kasus tersebut ditangani secara sah. Di Dusun Sidoharjo, Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Kabupaten Banyumas, Nenek Minah saat uji coba mengatakan, ketiga biji kakao tersebut akan ditambahkan ke pohon kakao di kebunnya.
Meski mengaku telah menanam 200 bibit pohon kakao di kebunnya, namun ia merasa hal tersebut belum cukup. Hanya tiga biji kakao yang jatuh dari pohonnya yang saat itu diambilnya untuk ditanam di kebunnya. Setelah meletakkan buahnya di sana, ia kembali bekerja mencabuti rumput liar di kebun kakaonya. "Saya belum mengambilnya, tapi saya menanam tiga biji kakao di tanah untuk dijadikan benih nanti di kebun saya," kata Nenek Minah.
Namun sebelum ia sempat membawa pulang buah tersebut, Sutarno, seorang mandor perkebunan, datang untuk menegurnya karena membawa kakao Perkebunan tersebut. Nenek Minah kemudian mengungkapkan penyesalannya dan meminta Sutarno membawa ketiga buah kako itu kembali ke perkebunan. Nenek Minah kemudian dilaporkan ke polisi sektor Ajibarang oleh manajemen PT. RSA 4, meskipun permintaan maaf telah diterima.
Nenek Minah dan keluarganya kaget saat dituduh mencuri tiga biji kakao di kantor polisi. Namun, mandor kebun menyerahkan tiga kilogram buah kakao ke Kejaksaan Negeri Purwokerto sebagai bukti pencurian Nenek Minah. Jaksa menahan nenek Minah karena kecurigaan tersebut. Setelah persidangan, nenek Minah menerima hukuman percobaan satu bulan lima belas hari penjara.
Seperti yang ditunjukkan dalam kasus Nenek Minah, fungsi hukum di Indonesia mirip dengan pisau: tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Kasus Bank Century misalnya yang hanya menjerat mantan pemilik sebagian saham PT Bank Century selama 4 tahun penjara dan denda Rp 50 miliar (tukar 5 bulan penjara) adalah salah satu contoh kasusnya yang baru-baru ini menjadi bahan diskusi publik yang luas.
Robert Tantular, sejujurnya. Meski ia menyetor dana sebesar Rp2,8 triliun, namun hukuman tersebut jauh lebih kecil dari tuntutan jaksa yang mengancam akan memenjarakannya selama delapan tahun.
Oknum yang membujuk Lembaga Negara mengucurkan uang Rp6,7 triliun setelah menyelewengkan hingga Rp2,8 triliun hanya diganjar hukuman 4 tahun penjara. Sebaliknya, Nenek Minah dibawa ke pengadilan dan dijatuhi hukuman satu setengah bulan karena mencuri tiga buah kakao untuk dijadikan benih karena dia tidak mampu membelinya. Ini sungguh tidak adil.