[Episode 2]
Pagi sekali Teja pergi ke ladang, ia memastikan hasil panennya tidak diambil oleh orang-orang Belanda. Teja tidak sendiri, ia ditemani oleh Husin, teman sebayanya.
“Tej, kamu kemarin pergi ke kamar mandi?” tanya Husin.
“Iya, setiap hari aku ke sana, Sin, mengapa bertanya demikian?”
Teja mengambil cangkul, mencampakannya pada tanah gembur yang ditanami singkong.
“Tidakkah kau tahu tentang Isna?”
“Ehm...aku tahu, mengapa?”
Husin tidak melanjutkan pertanyaannya. Ia hanya menengok ke arah datangnya sinar matahari. Teja yang merasakan keambiguan Husin hanya menggerutu singkat, memainkan alisnya sejenak yang menandai bahwa ia tidak mengerti arah tujuan pertanyaan Husin. Husin duduk di gubuk, dengan alas tikar seadanya ia mulai merebahkan diri. Sementara Teja masih berusaha mengambil beberapa singkong untuk dibawa pulang sebelum nanti diambil orang Belanda.
Matahari semakin cerah, embun-embun mulai mengalah dan perlahan menguap lalu hilang. Husin begitu menikmati suasana cerah pagi ini, ia hanya berbaring. Tidak tertidur. Ia sedang melamunkan sesuatu, atau mungkin seseorang. Teja yang masih giat dengan cangkulnya, penasaran dengan pertanyaan Husin tentang Isna, ia membuka percakapan.
“Isna itu suaranya bagus, enak didengar,” kata Teja kalem.
“Lalu?”