Lihat ke Halaman Asli

senopati pamungkas

Hubbul Wathan Minal Iman

Ketika Otak Butuh Wi-Fi: Pengalaman Absurd di Era Digital

Diperbarui: 19 September 2024   10:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumentasi: sinarharapan.net

Di zaman serba digital seperti sekarang ini, rasanya dunia berjalan dengan kekuatan yang satu: koneksi internet. Kita semua pernah berada di situasi di mana sinyal Wi-Fi lebih penting daripada oksigen---yah, setidaknya bagi yang sudah tergantung dengan teknologi. Namun, pernahkah kamu merasa seperti otakmu juga butuh Wi-Fi? Bukan sekadar koneksi internet, tapi sebuah jaringan super cepat untuk berpikir lebih jernih, lebih kreatif, dan lebih efisien? Di sinilah absurditas hidup di era digital mulai menampakkan diri.

Mungkin kedengarannya konyol, tapi biarkan aku bercerita tentang beberapa pengalaman yang membuat kita bertanya-tanya: Apakah ini hidup yang kita inginkan? Apakah kita masih manusia atau hanya avatar yang menunggu di-refresh?

Bayangkan kamu bangun pagi, mata masih setengah merem, tapi yang kamu pegang pertama kali adalah ponsel, bukan segelas air putih atau remote TV. Kamu mulai scrolling media sosial tanpa sadar, meskipun otakmu belum sepenuhnya aktif. Mata masih kabur, otak masih nge-lag, tapi jari-jari sudah otomatis membuka aplikasi satu per satu, seakan ada Wi-Fi di dalamnya yang menghubungkan langsung ke alam bawah sadar.

Saat ini, otakmu rasanya seperti sedang buffering. Tidak ada ide, tidak ada kreativitas, hanya pengulangan monoton yang entah kenapa terasa menghibur. Kamu tidak memikirkan sarapan, tidak juga mengingat harus mandi, yang penting feed Instagram tidak berhenti. Kamu tidak sadar bahwa kamu hanya sedang menunggu, seperti halaman web yang menunggu di-refresh agar tampil lebih cepat.

Lanjut ke momen yang sering dialami di kantor: meeting penting. Semua sudah duduk rapi di depan laptop, beberapa bahkan mengenakan headset seolah akan memimpin perang dunia maya. Tapi apa yang terjadi? Wi-Fi ngadat. Tidak ada sinyal. Kamu pun melongo di depan layar, menunggu orang-orang yang sedang berbicara di aplikasi meeting daring, namun suara mereka terputus-putus seperti robot yang sedang mengalami gangguan teknis.

Otakmu, pada saat yang sama, merasa seperti ikut disconnect. Pikiran yang tadinya penuh ide-ide cemerlang tiba-tiba hilang, seolah semua terhubung ke router yang sama. Semakin lama koneksi terputus, semakin besar kemungkinan kamu akan berkata sesuatu yang absurd seperti, "Mungkin kalau kita reboot ide ini, hasilnya akan lebih jelas."

Kita bahkan mulai merasa tidak lengkap tanpa sinyal yang kuat, seolah-olah produktivitas kita diukur berdasarkan kecepatan unduh dan unggah. Apakah otak kita sudah menjadi mesin yang tergantung pada sinyal?

Ini kisah nyata: ada teman yang tidak bisa tidur nyenyak kecuali dia tahu bahwa Wi-Fi di rumahnya menyala. Setiap malam sebelum tidur, ritualnya adalah memastikan router dalam kondisi terbaik. Apa yang terjadi jika Wi-Fi mati? Jantungnya mulai berdebar, perutnya mulas, dan kepalanya penuh dengan pikiran-pikiran yang tidak logis, seperti "Apa yang akan terjadi jika besok aku bangun tanpa internet? Apakah dunia masih akan berputar?"

Tentu, kita bisa tertawa mendengar cerita ini. Namun, bukankah kita semua punya sedikit kekhawatiran yang sama? Di era ini, tanpa koneksi internet, kita merasa seperti ditarik keluar dari masyarakat, seperti Robinson Crusoe yang terdampar di pulau tanpa Google Maps. Pernahkah kamu masuk ke kafe, tapi langsung keluar lagi setelah mengetahui bahwa Wi-Fi-nya sedang mati? Atau berpikir dua kali untuk menginap di hotel yang tidak menyediakan koneksi internet gratis?

Ini bukan sekadar soal kebutuhan internet, tapi juga kebutuhan emosional. Rasanya otak kita butuh Wi-Fi agar bisa berfungsi normal, seperti kalau tidak ada sinyal, kita juga tidak bisa 'berpikir' dengan benar. Ya, mungkin ini cara otak kita memberontak dari kecanduan digital, tapi siapa yang peduli? Yang penting, sinyalnya jangan putus!

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline