Lihat ke Halaman Asli

senopati pamungkas

Hubbul Wathan Minal Iman

Kidung Wahyu Kolosebo: Jejak Kearifan Lokal dalam Perjalanan Spiritualitas Jawa

Diperbarui: 18 September 2024   09:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumentasi: pecihitam.org

Kidung Wahyu Kolosebo adalah salah satu karya sastra lisan yang mengandung nilai-nilai spiritual dan kearifan lokal masyarakat Jawa. Melalui syair-syairnya, kidung ini menjadi medium penting dalam perjalanan spiritual manusia Jawa untuk memahami kehidupan, alam semesta, dan hubungan dengan Sang Pencipta. Dalam konteks budaya Jawa, kidung tidak hanya berfungsi sebagai puisi atau nyanyian, tetapi juga sebagai sarana komunikasi batin yang menggali makna-makna terdalam dari keberadaan dan tujuan hidup.

Setiap bait dalam Kidung Wahyu Kolosebo menyiratkan simbolisme yang kaya akan ajaran moral dan spiritual. Berikut beberapa bait dan pesan filosofis yang dapat dipetik:

Rumekso ingsun laku nisto ngoyo woro  
Kelawan mekak howo, howo kang dur angkoro
Senajan syetan gentayangan tansah gawe rubedo
Hinggo pupusing jaman

Dalam bait ini, terdapat pengakuan atas keberadaan sifat buruk atau "howo kang dur angkoro" (hawa nafsu jahat) yang menjadi salah satu tantangan besar dalam perjalanan hidup manusia. Manusia harus terus berjuang melawan hawa nafsu, termasuk godaan dari syetan yang diibaratkan selalu "gentayangan" (mengintai) untuk mengacaukan kehidupan dan menjauhkan manusia dari jalan yang benar.

Perjuangan melawan hawa nafsu dan godaan ini diibaratkan sebagai perjuangan seumur hidup yang berlangsung hingga "pupusing jaman" (akhir zaman). Ini menggambarkan bahwa perjalanan spiritual bukanlah sesuatu yang mudah, melainkan butuh ketekunan dan keteguhan hati hingga akhir kehidupan.

Hameteg insun nyirep geni wiso murko
Meper hardaning ponco saben ulesing netro
Linambaran sih kawelasan ingkang paring kamulyan
Sang Hyang Jati Pengeran

Bait ini melukiskan usaha manusia untuk "nyirep geni wiso murko" (meredam api kemarahan dan racun kebencian) serta "meper hardaning ponco" (mengendalikan lima indra). Ini adalah ajaran inti dalam spiritualitas Jawa yang mengajarkan pengendalian diri sebagai kunci untuk mencapai ketenangan batin. Lima indra adalah simbol dari keinginan duniawi yang sering kali membuat manusia tersesat. Mengendalikan indra-indra ini berarti meredam keinginan yang berlebihan dan menjaga diri dari nafsu yang merugikan.

Ajaran ini juga menekankan bahwa segala usaha pengendalian diri dan perlawanan terhadap hawa nafsu harus dilandasi oleh "sih kawelasan" (kasih sayang dan cinta kasih) yang berasal dari "Sang Hyang Jati Pengeran" (Tuhan yang sejati). Kasih sayang adalah kunci untuk mendapatkan kemuliaan hidup, bukan hanya dari sudut pandang duniawi, tetapi juga dalam dimensi spiritual yang lebih tinggi.

Dalam ajaran Jawa, salah satu konsep spiritual yang sangat penting adalah Manunggaling Kawula Gusti, yaitu penyatuan antara manusia (kawula) dengan Tuhan (Gusti). Kidung Wahyu Kolosebo secara eksplisit menyampaikan pesan ini:

Jiwanggo kalbu samodro pepuntoning laku
Tumuju dateng Gusti dzat kang amurbo dumadi
Manunggaling kawulo Gusti krenteg ati bakal dumadi
Mukti ingsun tanpo piranti

Manusia digambarkan sebagai sosok yang selalu mencari jalan untuk mendekat kepada Tuhan, yang dalam lirik ini disebut sebagai "Gusti dzat kang amurbo dumadi" (Tuhan yang menciptakan segala sesuatu). Perjalanan menuju Tuhan adalah tujuan akhir dari setiap individu, di mana manusia akan mencapai penyatuan dengan Tuhan dalam kondisi batin yang suci dan bebas dari keterikatan duniawi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline