Lihat ke Halaman Asli

era SJSN mungkin akan berakhir.

Diperbarui: 26 Juni 2015   01:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

The relationship between health care use and private health insurance, in health systems where the public sector plays a dominant role, has been examined by a number of studies. The empirical evidence from Australia and Ireland have found that individuals with private insurance have higher usage health care services (Cameron et al. 1988;Harmon and Nolan 2001 dalam Terence Chai and Farshid Vahid, 2011 ), pernyataan  ini mensyaratkan mendesaknya sebuah asuransi nasional yang menaungi warga negara dan menekan biaya kesehatan ke tingkatan yang wajar dan bebas penyimpangan (fraud)

Era Jaminan kesejahteraan Nasional ( JKN) telah bergulir sejak 1 januari 2014 bermula dari pembenahan sistem kesehatan nasional (SKN) yang diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Sistem kesehatan nasional yang baru bersifat universal, melindungi seluruh warga negara Indonesia, memastikan setiap warga negara mendapatkan kesempatan yang setara dalam hal pelayanan kesehatan. Pembayarannya pun dibedakan menjadi dua jenis yakni sistem kapitasi untuk fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) primer seperti: puskesmas, dokter praktek swasta, dan klinik; dan sistem diagnosis related group (DRG) untuk rumah sakit. 

Sistem kapitasi merupakan metode pembayaran untuk jasa pelayanan kesehatan dimana PPK (puskesmas atau klinik swasta) menerima sejumlah tetap penghasilan per peserta untuk pelayanan yang telah ditentukkan per periode waktu. Pembayaran bagi PPK dengan system kapitasi adalah pembayaran yang dilakukan oleh suatu lembaga kepada PPK atas jasa pelayanan kesehatan dengan pembayaran di muka sejumlah dana sebesar perkalian anggota dengan satuan biaya (unit cost) tertentu. Salah satu lembaga di Indonesia adalah Badan Penyelenggara JPKM (Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat). Masyarakat yang telah menajdi peserta akan membayar iuran dimuka untuk memperoleh pelayanan kesehatan paripurna dan berjenjang dengan pelayanan tingkat pertama sebagai ujung tombak yang memenuhi kebutuhan utama kesehatan dengan mutu terjaga dan biaya terjangkau.

Sistem kedua yaitu DRG (Diagnose Related Group) tidak berbeda jauh dengan system kapitasi di atas. Pada system ini, pembayaran dilakukan dengan melihat diagnosis penyakit yang dialami pasien. PPK telah mendapat dana dalam penanganan pasien dengan diagnosis tertentu dengan jumlah dana yang berbeda pula tiap diagnosis penyakit. Jumlah dana yang diberikan ini, jika dapat dioptimalkan penggunaannya demi kesehatan pasien, sisa dana akan menjadi pemasukan bagi PPK. 

Rumah Sakit Umum Daerah sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan sekunder di level kabuaten di seluruh Indonesia tak terelakkan lagi harus mengikuti sistem yang baru ini. Belum mapan sebagai RSUD ber-Badan Layanan Umum (BLU), yang mensyaratkan akuntabilitas dalam penyelenggaraan administrasi Pola Pengelolaan Keuangan (PPK-BLUD) kini harus dihadapkan lagi dengan sistem DRG yang mensyaratkan efisiensi kinerja berbasis clinical pathway yang tertib. Di satu sisi harus memberi pelayanan prima kepada pasien, di sisi lain pelaksanaan RSUD –ber BLUD yang akuntable diperlukan untuk mempertahankan kepercayaan Pemerintah Daerah akan manajemen administratif yang bekerja di rumah sakit tersebut. 

Dalam penyusunan DRG diambil dari rerata biaya diagnosis yang berlaku di setiap RSUD berbagai tipe. Hal ini yang kemudian membedakan pembayaran antara rumah sakit tipe C (yang umum terdapat di kabupaten dengan RSUD tipe diatasnya meski diagnosisnya sama. Di lapangan masih belum jelas apakah perbedaan ini terkait dengan kualitas dan kuantitas layanan atau  terkait penghitungan unit cost yang sama-sama diketahui belum tertib bagi kebanyakan rumah sakit. Sebagai contoh, prosedur sectio cesaria di rumah sakit tipe B dibayarkan lebih besar berbeda dengan rumah sakit tipe C. ini membuat rumah sakit tipe C berpikir untuk menaikkan kelas demi meningkatkan pendapatan rumah sakitnya.

Pengaruh Terhadap Pembangunan Kesehatan di Indonesia dari sisi Costing/pembiayaan

Kondisi ini diperburuk Kendali pengadaan dokter spesialis yang tidak lagi berada di pusat, dan tidak ada kordinasi antara daerah dengan pusat. Hal ini tentu saja akan membuat pembiayaan tenaga kesehatan khususnya dokter spesialis yang tidak sesuai demand ini meningkat tajam. Bahkan dalam skenario yang lain menyebabkan perpindahan spesialis tersebut ke kota yang dianggap lebih banyak pasiennya dan memicu ketidak seimbangan persebaran tenaga spesialis, memperburuk kondisi yang telah ada saat ini.

Kenyataan yang didorong utamanya karena adanya perbedaan pembayaran pada diagnosis yang sama antara rumah sakit tipe B dengan tipe C menyebabkan tingginya angka rujukan dari rs tipe C ke tipe B dan mendorong juga peningkatan tipe tanpa melihat demand sesungguhnya masyarakat setempat.

Pembiayaan kesehatan kuratif di Indonesia mencapai 40% dari biaya kesehatan nasional. Dari sisi jumlah penduduk yang dibiayai ini tentu jauh dari harapan karena tujuan SJSN juga mengoptimalkan kesehatan secara preventif dan promotif, yang mengakomodir seluruh warga negara Indonesia untuk hidup sehat, bukan sakit lalu dibiayai. Dengan adanya kondisi ini di mana RS di daerah tidak merencanakan pengadaan spesialisnya berdasarkan demand yang tepat tentu akan mempengaruhi proporsi pembiayaan kesehatan secara keseluruhan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline