Senja mulai menaungi kampungku. Tapi tetap saja tak membuatku berhenti berlari. Terus saja berlari. Ya Tuhan, aku tahu Kau tak kan merubah nasib hambaMu kecuali dia sendiri yang merubahnya. Tapi tidakkah Kau lihat semua ikhtiarku selama ini. Bukankah Kau Maha mengetahui??
“Astaghfirullah, maafkan hambaMu ini yang menghujat takdirMu. Begitulah diriku ini, bodoh!”, Sisi lain hatiku berbicara. Kaki ini seakan tidak mau berhenti untuk berlari. Tanpa alas, tetap saja aku tak berhenti. Batu kerikil menancap-nancap di kaki terbawahku, kakiku tetap mati rasa. Bahkan hidupku ini terasa tekena longsoran bongkahan batu-batu besar dari atas sana.
“Kemana?”, tanya hatiku.
“Entah”, hatiku di bagian lain menjawabnya.
Lelah? Sudah barang pasti. Namun memang beginilah kehidupanku, melelahkan. Sungguh. Astaghfirullah, Kenapa aku ini?? Mengeluh dan mengeluh saja.
Aku menengadah ke atas. Indah sekali langit senja ini. Setidaknya sedikit mengurangi lelahku berlari. Namun tetap saja belum mampu membujukku untuk berhenti. “Biarkan seperti itu Tuhan, biarkan langitmu menemani lariku. Lari dari segala takdirmu.”
Tubuhku. . .
Pikiranku. . .
Seakan ingin berontak dari segalanya. . .
“Tuhan bukankah Kau menciptakan segalanya dengan segala ukuran? Lalu sebatas inikah takdirku?”, hatiku mulai berkata lagi. “Aku bahkan mengerti kau Maha Adil dalam mengukur, menimbang segalanya, lalu ikhtiarku? Aku tidak gegabah dalam berikhtiar”, lanjutnya.
Dan kemudian hatiku di bagian lain menyaut dengan ucapan ampun kembali.
“Bukannya Tuhan tidak mengabulkan do’amu, hanya saja dia tahu yang terbaik untukmu.” Begitu sepenggal syair lagu yang aku dengar lewat acara TV di rumah acil1 Idah kemarin.
“Inikah yang terbaik untukku Tuhan? Meng-iya-kan apa kata Abah2 untuk menjadi TKW saja di negeri antah berantah, entah dimana itu?”
Abahku hanya seorang pelaut yang sudah renta, bahkan kini Mamak3ku hanya bisa di rumah, menunggu adanya orang yang memesan masakannya. Masak Habang4 adalah masakan andalannya. Namun karena tubuhnya, kadang ia menolak pesanan masakan yang terlalu banyak.
“Nak, Abah kada’5 sangguplah menyekolahkan ikam6 lagi”, kata Abah setelah mengimami sholat subuh pagi lalu. Di dalam mukenaku, aku merunduk seakan langit yang belum membiru pagi itu runtuh tepat di atas kepalaku.
“Ulun kepingin kuliah Abah, ulun kepingin jadi guru di kampung ini,” jawabku terbata-bata menahan tangis sekaligus memberanikan diri.
“Ulun janji di kelas 3 ini, ulun pertahankan prestasi hingga datang beasiswa”, lanjutku.
Mamak hanya terdiam dengan tasbih di ujung jarinya seakan tidak mendengarkan pembelaan anaknya ini.
“Kuliah nanti ulun handak cari kerja, jadi biaya kuliah kada’ membuat Mamak dan Abah bingung”, pembelaan diriku masih belum tamat.
Bahkan kali ini Abah masih tidak menanggapinya. Entah pikiran Abah melayang sampai ke buana mana kali ini. Melihat seperti ini aku tidak berani mengeluarkan pembelaan diri episode berikutnya. Kulepas mukenaku, kulipat hingga akhirnya sajadah kuselimutkan padanya. Mamak meletakkan tasbih dan tangannya menengadah tanda memanjatkan harapan pada Tuhan, sesekali beliau mengusap air yang mulai muncul dari sudut matanya.
Berbagai lesatan pembelaan diriku tadi membuatku tidak sempat mencium tangan Abah dan Mamak. Entah karena lupa atau terlalu semangat membela diri. Hingga akhirnya aku masuk kamar.
Seminggu ini memang seharusnya hari tenang menjelang ujian akhir nasional. Kehidupan perjuangan thalabul ‘ilmi selama 3 tahunku akan diganjar dengan beberapa hari ujian. Dari awal memang Abah sangat keberatan menyekolahkan diriku, anak terakhir dari 2 bersaudara. Bukan karena apa-apa namun karena biaya. Kakakku, kak Thoyib telah merantau ke negeri seberang sebelah utara pulau kami. Ya Malaysia, berbatasan langsung dengan pulau kami.
Aku tahu benar dia memang benar-benar kakak yang paling cemerlang yang pernah ada. Namun birrul walidain membuatnya memutuskan untuk menurut kepada Abah dan Mamak. Dia mengabulkan permintaan Abah dan Mamak, hingga pendidikannya berujung hanya pada SMA saja, lalu memutuskan untuk menjadi buruh di sebuah perusahaan kelapa sawit di negara itu. Tanpa paspord. Tanpa pelatihan menjadi TKI. Berbekal tekat saja. Dia dan beberapa warga kampung ini menerobos lebatnya hutan perbatasan dan ketatnya penjagaan di perbatasan. Namun sepertinya itu hal biasa bagi warga pulau kami ini.
Aku ingat benar kata-katanya setelah bersalaman tanda pamit pada Abah dan Mamak. “Ikam kada’ boleh seperti kakak, Farida harus kuliah. InsyaAllah kakak bantu. Maka dari itu ikam doakan kakak ya”, katanya.
Mataku berkaca-kaca mendengar kakak berucap. Saat itu aku tahu betul arti kata-kata kak Thoyib bahkan aku sempat melirik ke arah Abah dan Mamak. Sungguh saat itu aku berharap kata-kata kak Thoyib menjadi setruman 1000 volt bagi mereka. Namun, datar. Itu saja yang aku lihat di muka mereka.
Hingga akhirnya hari tenang berujung pada senja saat ini, saat aku berlari entah kemana.
“Farida! Handak kemana ikam?”, terdengar suara dari arah berlawanan aku berlari. Namun tidak aku hiraukan.
“Farida. . !”, teriaknya lagi. Ternyata itu suara acil Idah.
Aku berhenti sejenak, mengatur hembusan nafas yang membuat dadaku kembang kempis. Lalu menyaut,”Iya acil.”
“Handak maghrib sekarang, sana bulik7! Kasihan Abah dan Mamak ikam kalau mencari ikam”, teriaknya dari kejauhan karena memang aku tidak berusaha mendekat. Entah kenapa rasanya syaraf-syaraf motorikku kaku, seperti kram. Bahkan otakku tidak dapat memerintahkan mereka untuk bergerak.
bersambung..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H