Lihat ke Halaman Asli

Liburan Murmer ala Backpacker II (Dari Bengkulu Menuju Yogyakarta dan Bandung)

Diperbarui: 24 Juni 2015   04:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1386250221966685517

Rute Pertama: Bengkulu-Yogyakarta (yang sudah ku-sharing tempo hari atau baca disini)

Rute Ke Dua: Dari Yogyakarta Menuju Bandung

[caption id="attachment_282122" align="aligncenter" width="300" caption="Trans Studio Bandung"][/caption] Ada yang lucu ketika kami berada di terminal Giwangan ini (terminal pertama sekaligus tempat pertama kami menginap ketika sampai di Yogya). Hari menunjukkan pukul satu siang lewat beberapa menit. Aku belum shalat sedangkan teman yang lain lagi berhalangan. Mereka menungggu di ruang tunggu lantai dasar. Mumpung busnya belum datang aku sempatkan shalat jama’ di mushallah terminal lantai atas. Selesai shalat aku baca SMS yang barusan masuk. Dari Reti, salah satu temanku. Isinya:

“Kami tunggu di dekat warung nasi.”

Ada-ada saja, pake acara pindah tempat, pikirku. “Dari penginapan kita yang kemarin, ke arah mana?” balasku.

Tidak lama balasannya masuk, “Lihat aja arah matahari terbenam.”

Aku pun turun ke bawah menuju tengah terminal untuk melhat arah matahari terbenam. Di tengah-tengah terminal sepi. Orang-orang pada berlindung di bawah atap karena cahaya matahari sangat menyengat. Aku seperti orang linglung yang berada di tengah terminal mencari mereka. Tiba-tiba ada yang melambaikan tangan dan memanggil, “Rin! Rin!” Aku menoleh, rupanya teman-temanku. Kemudian aku mendekati mereka. Tenyata tidak sejengkal pun mereka beranjak dari tempat tadi. Dengan sedikit marah aku minta klarifikasi mereka, “Tadi kalian SMS mau pindah tempat, tapi kenapa masih disini?”

“Nggak ah, dari tadi kami disini,” jawab Reti enteng.

“Lho tadi, kan, kalian SMS.” Kutunjukkan isi SMS.

Reti kaget, “Itu SMS beberapa hari yang lalu, Rin. Ternyata baru nyampe, ya?!” ia ketawa. Huh! Ini ulah provider T**ko*sel ternyata.

“Terus, kenapa kalian SMS suruh aku lihat arah matahari terbenam?” tanyaku masih penasaran.

“Lho, bukannya kamu tadi SMS nanya kemana arahnya, kupikir kamu nanya arah kiblat, jadi Tya suruh jawab seperti itu.” Wkwkwkwk Asli kami nahan ketawa di ruang tunggu yang rame itu.

Jam dua kami berangkat meninggalkan Kota Yogya yang penuh kenangan menuju ibu kota Jawa Barat. Butuh waktu 19 jam untuk sampai di terminal Leuwi Panjang, Bandung. Ini kali ke dua aku terkapar di penginapan yang tak jauh dari terminal. Aku hanya istirahat di kamar, memulihkan tenaga yang hampir terkuras habis. Teman yang lain keluar sebentar untuk mencari makanan. Penginapan disini enak, seperti rumah bedengan. Luas, bersih, ada TV-nya pula dan kamar mandi di dalam. Rp150.000/malam tanpa biaya tambahan. Kami booking empat malam.

[caption id="attachment_282130" align="aligncenter" width="300" caption="Room Broadcast, TSB"]

13862508721563827655

[/caption]

Esoknya kami siap “bertempur” lagi. Perjalanan pertama di kota kembang ini adalah main sepuasnya di Trans Studio Bandung (TSB) milik Chairul Tanjung, si anak singkong. HTM Rp250.000/orang. Sedikit mahal karena memang pada hari libur tapi kita puas main apa saja disini. Pengunjungnya juga sangat padat.

[caption id="attachment_282123" align="aligncenter" width="300" caption="Gerbang TSB"]

13862503161451435930

[/caption] Semua wahana ingin aku coba. Dari yang bikin terkagum-kagum sampe bikin mulut mangap-mangap. Dari yang  takut bin serem sampe yang rasanya mau mati. Namun apa daya, tidak semua wahana dapat kami coba karena waktu yang tidak banyak. Sempat meneteskan air mata juga, sih, soalnya merasa hampir mau mati saat aku naik vertigo, si kincir raksasa yang berputar 360 derajat dari tempat tinggi. Selesai naik vertigo, aku insyaf sejadi-jadinya. Hm…, sepertinya aku hanya cocok bermain di pantai bersama kepiting-kepiting kecil yang sering kutangkap waktu kecil dulu.

Kami beruntung bisa menyaksikan pertunjukan sirkus internasional. Dengar-dengar, katanya pertunjukan sirkus ini cuma ada saat liburan aja. Rasanya tidak perlu aku jelasin bagaimana mewah dan megahnya setiap atraksi yang dipertontonkan di TSB, di gugel saja sudah banyak tersedia J Sampe malam kami main disini, nggak pake acara makan dan minum karena repot harus isi voucher-nya terlebih dahulu. Haus? Iya. Lapar? Banget! Namun apa mau dikata, kami berusaha ngirit. Mbak-mbak dan mas-masnya juga ketat banget dalam menggeledah tas kami. Alhasil tak ada satu makanan pun yang berhasil kami bawa masuk. Mau beli di TSB, mahale L

The next day, tujuan kami ke TWA Gunung Tangkuban Perahu, 20 km ke arah utara kota Bandung. Kami menumpang bis (Rp3000 non AC) dari terminal Leuwi Panjang menuju terminal Ledeng. Dari Ledeng lalu naik minibus yang ke Subang (Rp15.000).

Sepanjang perjalanan, temanku, Reti, asyik masyuk ngobrol dengan ibu yang duduk tepat di sebelahnya. Ibu itu bilang, rugi banget kalo ke Tangkuban Perahu tidak mampir dulu ke Ciater, tempat pemandian air panas alami. Ibu itu juga memberikan tips yang aman pulang ke Bandung kalo nanti kemalaman. Tanpa beban, ia pun memberikan kontak nomor HP-nya. “Siapa tahu nanti nyasar,” katanya.

Finally, kami pun mampir dulu ke Ciater. Baru saja nyebrang, hujan pun mengguyur tanah Subang. Terpaksa kami mampir di sebuah warung sambil istirahat dan makan siang. Lama ditunggu-tunggu reda, ternyata hujannya awet.

“Nggak apa-apa, turun saja. Walau hujan, rame kok di bawah,” usul ibu pemilik warung itu. “Kalo kemalaman, nginap saja disini. Daripada nginap di bawah, mahal. Kasihan, nggak apa-apa kok. Disini cuma ada Ibu, anak perempuan Ibu sama cucu. Kebetulan menantu Ibu kerja di Jakarta, seminggu sekali pulangnya,” lanjut ibu itu seolah mengetahui gundah gulana hati kami.

Lepas Ashar, kami menyewa payung untuk turun ke bawah. Hanya membayar Rp19.000/orang untuk bisa mandi di pemandian air panas. Katanya air panas itu dialiri langsung dari gunung yang kaya mineral belerang. Untuk masuk ke tempat-tempat tertentu seperti tempat terapi kulit dengan ikan di Dayang Sumbi (benar ga?) kita harus bayar lagi. Tapi kami cukup mandi di pemandian luarannya saja biar hemat heheh.

Satu lagi masalah yang membuat kami hampir gagal mencoba mandi di pemandian air panas ini. Kami sama sekali tidak membawa baju ganti dari Bandung karena kami tidak berencana untuk menginap di daerah Subang ini. Cuma ada baju yang menempel di badan saja. Aku malahan tidak bawa dompet, hanya uang pas-pasan yang aku bawa. Sisanya kutinggalkan di penginapan di Leuwi Panjang. Namun kami tidak kekurangan akal. Kami rancang sedemikian rupa bagaimana cara mandi yang tidak membuka aurat di tempat rame ini sekaligus agar kami tetap bisa tidur tenang tanpa masalah baju basah. Dan akhirnya kami berhasil! Yeah! Mandi di pemandian air panas dengan suhu udara cool abiz (dataran tinggi) dan ditemani guyuran hujan. Malam hari pula. Mantap sudah!

[caption id="attachment_282124" align="aligncenter" width="300" caption="Ciater, Pemandian Air Panas"]

13862503831287295187

[/caption] Kami pulang ke rumah ibu pemilik warung tadi dengan gigi yang gemerutuk menahan kedinginan. Terlelap sudah kami meringkuk di dalam selimut masing-masing. Hari ini…, sesuatu banget!

[caption id="attachment_282125" align="aligncenter" width="300" caption="Uap air panas bercampur air hujan melahirkan sensasi yang berbeda "]

138625043761353460

[/caption] Pagi ini jadwal selanjutnya adalah ke Tangkuban Perahu. Masih dengan baju yang kemarin, kami mencarter minibus (Rp100.000 sebuah mobil). Jalanan yang selalu mendaki hingga sampai ke parkiran dekat kawah Tangkuban Perahu yang memiliki ketinggian 2.083 meter dari permukaan air laut. HTM Rp13.000/orang. Sebelum menjelajah, kami membuat janji dengan supir minibus untuk menjemput kami lagi nanti jam dua siang. Sempat bertukaran nomor HP dengan pak supir namun percuma juga, kami baru tahu bahwa nggak ada signal disini wkwkwkw.

[caption id="attachment_282126" align="aligncenter" width="300" caption="Pinggir  Atas Kawah. Kabut pun mulai lenyap"]

1386250594417029844

[/caption] Pagi yang dingin karena habis diguyur hujan semalaman membuat kawah Tangkuban Perahu berkabut. Jarak mata memandang pun terbatas. Pelan-pelan angin dingan menusuk tulang. Sisa uang yang seharusnya dibelikan oleh-oleh khusus dari Tangkuban akhirnya kami belikan perlengkapan penghangat badan. Mulai dari kaus tangan sampe masker mulut (kalo masker mulut aku bawa dari Bengkulu hehehe). Ada juga teman yang membeli syal, topi penutup telinga, dan jaket berbahan rajut. Miskin sudah kami disini. Makan pun hanya dengan sisa kue yang dibeli dari warung tempat ibu yang baik hati tadi.

[caption id="attachment_282127" align="aligncenter" width="300" caption="TWA Tangkuban Perahu"]

1386250659119609213

[/caption] Kelihatannya hanya orang Indonesia yang heboh kedinginan disini. Si turis bule nyantai aja tuh! Mungkin sudah terbiasa dengan salju di negaranya. Dingin disini nggak ada arti apa-apa buat mereka. Maybe….

Aku sempat pisah sebentar dengan Reti dan Yulia. Pas ketemu, mereka cerita kalo mereka disangka turis dari Malaysia karena mendengar logat bicaranya yang aneh hehehe. Aku juga nggak sengaja ketemu teman SMA. Delapan tahun tak bertemu akhirnya kami bersua di atas gunung ini. Lucu juga. Eits, ternyata temanku itu sedang bulan madu disini ^_^

Pukul sebelas. Kami hanya mampu mengitari Kawah Ratu saja, tidak sampai ke Kawak Upas dan Kawah Baru. Kami sudah tidak nyaman lagi disini karena kedinginan. Padahal janji dengan pak supir itu jam dua. Tidak bisa menelpon juga karena signal tak ada. Mesti menunggu tiga jam lagi. Kami mendekati parkiran mobil untuk mencari mobil lain karena sudah tak tahan lagi. Oh ternyata, pak supir itu nyengir melihat kami.

“Sudah disini, Pak?” tanyaku.

“Ia. Saya sudah tahu pasti kalian tak akan bertahan lama disini,” jawabnya nyengir. Kami senyum-senyum sendiri. Ah, bapak tahu aja ^^

Dengan membayar lagi Rp175.000 kami minta di antar ke depan Ciwalk Bandung (tempat acara inbox sering syuting). Menyusuri jalanan yang lebih sering menurun kami menyaksikan keadaan kota Bandung dari atas. Rumah-rumah dan gedung-gedung itu bagaikan kumpulan sampah yang mengapung tak terkendali di atas laut. Sangat mengerikan. Kepadatan yang tak terbendung lagi membuat hati jadi miris.

Sesampai di Ciwalk kami mencari ATM lalu berkeliling mengitari mall dan toko-toko di emperan sepanjang jalanan Ciampelas. Biasa, cari yang murmer tapi nggak ketemu lalu segera pulang ke Leuwi Panjang karena hari mulai larut.

Hari ini hari terakhir kami di Bandung. Sebelum siang kami mampir dulu ke Pasar Baru untuk mencari oleh-oleh. Pulangnya kami bergegas mengepak barang dan menyewa  becak (banyak bawaan) menuju Terminal Leuwi Panjang. Lalu menumpang bus executive “Bela Utama” menuju Kota Bogor dengan ongkos Rp50.000/orang. Di Bogor kami menginap dua hari dan di Depok satu hari (main di UI, Margo dan Detos).

[caption id="attachment_282128" align="aligncenter" width="300" caption="narsis di depan kaca, Depok"]

13862507451752406691

[/caption] Keliling Jabodetabek kami menggunakan transportasi super murmer, Commuterline dan busway. Di Jakarta kami mampir juga ke Tanah Abang, Mangga Dua, Monas, dan Masjid Istiqlal. [caption id="attachment_282129" align="aligncenter" width="300" caption="Monas"]

1386250818295989191

[/caption]

Sebenarnya tubuh ini sudah merasa kelelahan dengan dua minggu perjalanan tanpa henti. Tapi karena rasa hati senang, jadi rasa lelah itu terkalahkan. Saat pulang ke Bengkulu—tiket pesawat sudah di booking satu bulan sebelum berangkat ke Yogyakarta—aku mengalami flu berat hingga luka lecet di dalam hidung. Perih. Padahal nggak diapa-apain L

[caption id="attachment_282133" align="aligncenter" width="300" caption="Lantai Atas Masjid Istiqlal"]

13862510131620370295

[/caption]

Tuntas sudah dua minggu full backpacker ala anak pesisir pantai seprti kami. Bus Damri (Rp40.000/orang) melaju dengan pasti, memasuki jalan-jalan tol membawa kami dari Bogor menuju Bandara Soekarno-Hatta. Diam-diam ada yang menyusup di hati, rasa sedih bercampur riang. Tak mau kulukiskan. Nanti jadinya melankolis hahaha.

Pulang. Bukankah itu adalah akhir dari semua perjalanan. Semua yang dilewatkan pasti akan menjadi kenangan. Bahkan tak terlupakan.

Bengkulu, I’m come back…




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline