Lihat ke Halaman Asli

Seni Asiati

Untuk direnungkan

Andai Tak Ada Corona

Diperbarui: 12 Mei 2020   13:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dok. pribadi

Corona ohhhh my God!!!!

Orang awam tentu tak paham seberapa dasyat corona atau covid-19 sehingga dapat merumahkan semua. Sekolah ditiadakan berganti belajar dari rumah, kantor juga ikut bekerja dari rumah, pusat perbekanjaan di tutup selain toko yang menjual bahan pokok atau lebih tepatnya swalayan atau supermarket dan apotik. Semua resto makan cepat saji di tutup tidak ada aktivitas makan bersama semua makanan yang dipesan harus dibawa pulang. Pengaturan kapasitas penumpang di angkutan umum dan angkutan daring ikut di dalamnya. Mimpi pedagang tanah abang yang setiap tahun menjelang Ramadhan dan lebaran meraup untung besar harus terpuruk. Para pedagang harus merelakan omzet langsung penjualan turun drastic berganti dengan berjualan secara online. Kalau pelanggan ingat nama tokonya langsung mencari di aplikasi pembelajaan kalau tidak berniat??? Apalagi kantong pelangan juga ikutan kosong imbas tak berpenghasilan cukup.

Ah... corona paling hanyang seminggu kemudian balik lagi aktivitas. Nyatanya hampir dua bulan sejak bulan Maret situasi pandemi ini terus berlangsung. Angka penularan bukan menurun malah semakin naik seiring rapid tes dan tes swab oleh pemerintah.

Pasrah atau meraung karena kesal dan terpuruk? Sudah dialami sebagian orang. Mungkin hanya kalangan yang bisa memanejemen keuangannya yang tidak menjerit. 

Sayangnya budaya bangsa Indonesia belum sebaik negara tetangga kita yang sudah membiasakan diri menabung dan mengikuti asuransi. Salah siapa kalau mereka tidak mau menabung dan ikut asuransi? 

Sebenarnya norma yang diajarkan orang tua yang menuai kebiasaan menabung. Bagi sebagian masyrakat menengah ke bawah penghasilan hari ini untuk hidup hari ini, urusan besok bisa dicari besok lagi.

Masyarakat yang berpenghasilan tetap atau pegawai negeri mungkin belum terkapar atau berteriak karena mereka memang tidak ada pemotongan pengahsilan walaupun bekerja dari rumah. 

Mereka merasa masih aman dan malah nyaman bisa berkumpul di rumah. Bagi mereka terus di rumah semakin meringankan beban yang sudah stress setiap hari macet dan bertumpuk pekerjaan. Covid-19 masih aman di rumah tidak tertular dan mereka dapat memantau anak-anak.

Sebenarnya saya juga berpikiran seperti ini, yak arena saya pegawai negeri. Secara financial belum terasa benar karena gaji dari pemerintah tetap diterima. Sebagai seorang pegawai negeri sipil dampak Covid-19 memang belum berdampak drastis dari segi ekonomi karena pendapatan masih sama seperti sebelum Covid-19.

Ketika semua sudah berada di rumah dengan alasan keamanan untuk tidak menyebar virus barulah terasa sebulan dari segi ekonomi. Pembengkakan pembayaran yang rutin harus dilakukan mulai mengiris hati. 

Yah, pembayaran listrik karena pemakaian yang terus menerus di rumah lampu menyala karena rumah kurang pencahayaan, pendingin ruangan yang biasanya hanya dinyalakan bila berangkat tidur malam terpaksa dinyalakan karena kegiatan bekerja dipindahlan ke rumah. Tujuannya hanya satu agar nyaman. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline