Lihat ke Halaman Asli

Zakat sebagai Investasi Sosial, Mengukur Pemberdayaan yang Berkelanjutan

Diperbarui: 21 September 2018   09:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri

Mengukur pemberdayaan ekonomi bisa dilihat dari motifnya, bisa dari motif keuntungan dan motif sosial. Bagi lembaga amil zakat, motif sosial sepadan dengan spirit agama yang menekankan kemaslahatan dan perlindungan. Karena tujuan finalnya (maqosid syari'yah) sebagai nilai utama yang memberi makna terhadap asas kemanfaatan.

Dalam kerangka pemberdayaan zakat yang berkelanjutan, Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), Lazismu dan Social Return on Investment (SROI) Network Indonesia menggelar seminar Development Forum dengan tajuk Zakat sebagai Investasi Sosial. Acara berlangsung di Gedung Dakwah Pimpinan Pusat Muhammadiyah (20/9/2018).

Forum ini melibatkan partisipasi pegiat filantropi Islam dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten atau kota. Beberapa pembicara dihadirkan untuk mengupas zakat dari perspektif inovasi dan kesejahteraan sosial, perubahan sosial dan tolok ukur mengukur program pemberdayaan zakat yang berkelanjutan.

Ketua Baznas, Bambang Sudibyo dalam sambutannya mengatakan, Zakat sebagai Investasi sosial merupakan jalan tengah untuk mencipatakan nilai tambah (value added). "Penerima nilai tambah ini adalah mustahik yang memeroleh  manfaat program zakat. Dalam pengukurannya dijelaskan dengan pernyataan nilai tambah yang terencana," katanya.

Realitas perkembangan zakat begitu optimis. Namun, lanjut Bambang, akan ada situasi yang kompleks karena ada entitas pelaporan. "Seiring berjalannya waktu, ini akan kita lakukan untuk mengukur dampak penyaluran zakat kepada penerima manfaatnya," jelasnya.

Saya berharap dalam forum ini ada suatu rekomendasi yang dapat dirumuskan sehingga gagasan konstruktif zakat lebih bermakna. Lazismu dan Baznas, menurutnya sama-sama melakukan hal ini.

"Tujuannya agar nilai tambah zakat mampu mendeskripsikan manfaat zakat dengan gamblang melalui alat ukur keberhasilan pemberdayaan zakat dengan pendekatan social return of investment (SROI)," tambahnya.   

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Utama Lazismu, Hilman Latief, mengatakan, apa yang disajikan dalam forum ini tentu suatu bentuk inovasi sosial zakat. Zakat sebagai investasi sosial dalam konteks pemberdayaan dapat mendorong pencapaian SDGs.

Menurut Hilman Latief, ada dua model orientasi dalam praktik zakat saat ini. Pertama aktivitas ekonomi berbasis sosial keagamaan, kedua, aktivitas sosial keagamaan berbasis ekonomi. "Kedua model ini harus ditentukan mana yang menjadi inti gerakan zakat," papar peneliti filantropi Islam ini.   

Dokpri

Maka untuk menjabarkannya, bagaimana lembaga amil zakat dapat menempatkan konsep inovasi dalam dua cara pandang tersebut. Dalam paparannya Hilman menawarkan gagasan green zakat di tengah perkembangan industri keuangan yang inklusif.

Dalam situasi tertentu, inovasi zakat masih memiliki keterbatasan. "Selama ini isu pendidikan, kesehatan, dakwak-sosial, ekonomi dan lainnya masih dapat disentuh pemberdayaan zakat. Tapi ada hal lain yang masih belum tergarap oleh lembaga amil zakat yakni bagaimana zakat mampu mengemas isu lingkungan sebagai program zakat yang inovatif," pungkasnya.  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline