Lihat ke Halaman Asli

Sendy Ahmad Ghazali

Mahasiswa Sosiologi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Justin Trudeau: Feminis Modern dengan Pendekatan Praktikal

Diperbarui: 11 November 2022   15:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Koleksi Pribadi

Beberapa waktu yang lalu, di kelas saya, dosen pengampu mata kuliah Sosiologi Gender melimpahkan sebuah tugas pada para mahasiswanya; mencari tokoh feminis laki-laki beserta pemikirannya. Dosen pengampu mata kuliah tersebut, yaitu ibu Ida, melimpahkan tugas dengan cara yang tak jauh beda dengan dosen-dosen lainnya, tak ada desakan khusus yang ia tekankan kepada mahasiswanya. Namun, apa jadinya bila tugas tersebut juga didapatkan oleh seseorang seperti saya?

Sebagai seorang pelajar yang katakanlah "rakus", melakukan hal yang lebih adalah sebuah kewajaran bagi saya. Oleh karena itu, saya tidak menganggap tugas yang dilimpahkan dosen pengampu sebagai tugas formal semata, melainkan tempat untuk mencurahkan isi hati.

Pada dokumen ini, saya akan menulis tentang seorang tokoh feminis asal Kanada, yaitu Justin Trudeau. Tulisan ini saya sebut sebagai sebuah esai, sebab penulisannya memang berasal dari nalar saya pribadi, dibantu oleh hasil bacaan saya mengenai tokoh feminis yang satu ini.

SIAPA SEBENARNYA JUSTIN TRUDEAU?

Justin Trudeau adalah seorang politisi asal Kanada yang bernaung di bawah Partai Liberal. Sebagai seorang politisi, ia dikenal umumnya karena dua hal; kesuksesannya meraih gelar Perdana Menteri dan kebijakannya yang mendukung kesetaraan gender. Kesuksesannya untuk meraih jabatan sebagai Perdana Menteri terjadi pada tahun 2015. Selain mendapatkan gelar sebagai kepala pemerintahan di negara yang terletak di Amerika Utara tersebut, Justin Trudeau juga dinobatkan sebagai Perdana Menteri termuda kedua sepanjang sejarah Kanada. Dalam hal kebijakan, Trudeau dikenal karena kebijakannya yang cukup unik; menyeimbangkan porsi menteri perempuan dan laki-laki di kabinet Kanada.

TRUDEAU DAN FEMINISME

Selain dikenal sebagai seorang perdana menteri yang berusia cukup muda dibandingkan para pendahulunya ketika menjabat, Trudeau juga dikenal karena pemikirannya yang dengan frontal memilih feminisme sebagai haluan. Gilanya lagi, pemikiran feminisme Trudeau tidak sekadar tertuang di atas kertas dan lalu dipajang saja, tapi benar-benar termanifestasikan melalui berbagai macam kebijakan yang dikeluarkannya selama menjabat sebagai perdana menteri. Salah satu kebijakannya yang paling terkenal adalah ketika dirinya menyusun kabinet menteri Kanada yang terdiri dari 15 perempuan dan 15 laki-laki.[1]

Kebijakan Trudeau di awal masa kepemimpinannya yang memutuskan untuk memberi porsi yang sama antara perempuan dan laki-laki di pemerintahan tentu mendapatkan banyak sekali respons. Di pihak perempuan, dan tentunya kaum feminis, keputusan Trudeau dianggap sebagai sebuah angin segar yang pantas untuk mendapatkan pujian. Namun, hal tersebut tidak terjadi pada semua pihak, berbagai macam media menanyakan keputusan Trudeau yang cukup berani itu. Saat ditanya oleh seorang reporter tentang alasan mengapa ia melakukannya, Trudeau hanya menjawab "Because it's 2015."[2]. 

Kalimat terakhir yang saya kutip kini bak menjadi jargon bagi para feminis, ia mengimplikasikan bahwa di zaman yang semakin modern ini, kesetaraan antara laki-laki dan perempuan adalah hal yang hakiki, dan niscaya. Sifat hakiki dan keniscayaan itu tidak hanya tertuang di dalam pemikiran saja, tetapi juga tercermin dari sikap yang ditunjukkan oleh Justin Trudeau itu sendiri. Dalam mewujudkan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki, Trudeau tidak sekadar asal memilih perempuan untuk masuk ke pemerintahan. Namun, lebih dari itu, ia memang telah sejak lama berusaha untuk memilih dan melatih perempuan-perempuan hebat; yang nantinya akan ia pilih sebagai menteri di kabinetnya.

Trudeau berkata bahwa sulit untuk menemukan sosok perempuan yang mau dan memang kompeten untuk menjadi seorang menteri, sebab sistem sosial yang ada telah menekan minat perempuan untuk memimpin; perempuan sudah memiliki beban tugas domestik, ikut memimpin dianggap hanya akan menambah beban hidup, karena itulah perempuan cenderung kekurangan minat untuk ikut berpolitik. Namun, meski ia sendiri mengakui sulit untuk menemukan sosok perempuan yang cocok untuk dipilih sebagai menteri, usahanya tidak berakhir dalam keluhan. Pada tahun 2012, 2013, dan 2014, ia bersama timnya bekerja sama untuk mencari dan melatih wanita-wanita berbakat di Kanada, yang kemudian wanita-wanita ini nantinya akan ia lantik sebagai menteri.[3]

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline