Langit pagi itu cerah, secerah harapanku menyambut hari pertama masuk SMA. Aku berdiri di depan gerbang sekolah baru dengan seragam putih abu-abu yang masih tampak licin, hasil setrika semalam. Suasana ramai, ratusan siswa baru berlalu-lalang, beberapa sibuk mencari teman, yang lain terdiam, mungkin sama gugupnya denganku.
Koridor sekolah panjang dan penuh suara. Papan pengumuman besar di tengah lorong mengumumkan daftar kelas. Aku mencari namaku dengan jantung berdebar. "10-1," gumamku lega dan aku bertemu dengan seseorang yang menyapaku terlebih dahulu yaitu melati dia lah yang menjadi teman pertamaku di SMA. Dan melati pun mengajak aku untuk melihat-lihat kelas
Akupun mengangguk. aku dan melati pun berjalan bersama, berbincang soal betapa besar sekolah ini dan betapa ribetnya peta yang diberikan. Ternyata, melati juga merasa gugup, sama seperti aku.
Hari-hari berlalu, dan aku serta melati semakin dekat. Kita selalu bersama---duduk sebangku, mengerjakan tugas kelompok, hingga berbagi cerita saat istirahat. Aku yang biasanya pendiam perlahan merasa nyaman berbagi mimpi dan kekhawatirannya dengan melati.
Pada suatu sore, ketika hujan deras mengguyur lapangan sekolah, aku bertanya, "Kenapa kamu mau ngajak aku duluan waktu itu?"
Melati tertawa kecil. "Karena aku lihat kamu sendirian, sama seperti aku. Aku pikir, kalau kita sama-sama, mungkin rasanya nggak terlalu menyeramkan."
Akupun tersenyum. Aku merasa bersyukur telah bertemu melati di hari pertamanya. Di koridor yang terasa dingin dan asing, ia telah menemukan seseorang yang membuatnya merasa hangat dan diterima.
Persahabatan kami menjadi awal cerita yang indah, mengiringi langkah-langkah pertama kami di SMA, penuh harapan dan mimpi yang baru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H