Lihat ke Halaman Asli

Sendi Suwantoro

Ketua SEMA FTIK IAIN Ponorogo 2023/2024

Menikam Senja dengan Asap Candu dan Aroma Kopi

Diperbarui: 11 Januari 2024   01:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pixabay.com

Udara senja merambat perlahan, senyap menyusup ke kedai kopi tua di ujung pasar. Rembang remang lampu minyak menerangi wajah Gus Arya, lelaki tua kurus dengan guratan pengalaman terpatri di kulitnya. Jemarinya mendekatkan nyala api lilin ke pipa cangklong tua, mengisap candu dengan khidmat, asapnya memilin ke langit-langit seperti doa yang diucapkan dalam bisik.

Di seberang meja, Naya, gadis belia bermata sayu, menyesap kopi pahit dari cangkir tanah liat. Aroma biji kopi robusta yang disangrai sempurna memenuhi rongga dadanya, pahitnya berpadu dengan nikotin candu yang samar, menciptakan simfoni sensasi tak terduga.

"Senja selalu punya waktu untuk cerita, Naya," kata Gus Arya, suaranya serak mengiringi gembulan asap yang mengepul dari mulutnya.

Naya mengangguk, matanya tertuju pada siluet gedung-gedung tua di luar jendela. Senja memang jam favoritnya, saat cahaya matahari yang lelah mewarnai dunia dengan rona jingga dan ungu, membuai imajinasi dengan kisah-kisah yang belum terbaca.

Gus Arya menyandarkan tubuhnya ke kursi kayu yang sudah kehilangan kilaunya, matanya menyipit mengenang. "Dulu, kedai ini dipenuhi pelaut dan seniman," lanjutnya. "Mereka datang mencari pelarian, pelampiasan, atau sekadar menemani senja yang sunyi."

Ia bercerita tentang pelaut yang merindukan daratan, pelukis yang dilanda kebuntuan, dan penyair yang kehilangan kata-kata. Setiap tegukan kopi dan hisapan candu mereka dibumbui oleh cerita masing-masing, pahit getir, harum remang, seperti senja itu sendiri.

Naya terpesona. Kisah-kisah Gus Arya merengkuhnya ke masa lalu, membaurkan aroma kopi dan candu yang ia hirup dengan kenangan orang-orang asing. Ia merasa terseret ke pusaran emosi yang mentah, ke simpul dan kompleksnya pengalaman manusia.

"Tapi sekarang, mereka semua pergi," Gus Arya menghela napas, matanya sayu menatap jendela. "Dunia terlalu gaduh, Naya. Senja tak lagi dihargai, kopi hanya diburu sekejap, dan candu... dicap sebagai setan."

Naya diam, hatinya tersentuh oleh sendu dalam suara Gus Arya. Ia tahu, zaman memang telah berubah. Kedai tua ini tak lagi ramai, sunyi menjadi teman setianya. Namun, bagi Naya, kedai ini adalah suaka, tempat senja masih berbisik dan cerita-cerita bernapas.

Ia bangkit, melangkah ke jendela, menatap senja yang kian pudar. Secercah cahaya jingga menembus celah gedung, menyinari sekuntum mawar merah yang mekar di sudut kedai. Harapan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline