Ibu memang bukan penjahit, tapi tangannya mahir menenun mimpi dari gurat-gurat benang dan aroma bantal kapas. Setiap malam, jemari tuanya akan menari-nari, mengelus, dan merapikan tumpukan kapas menjadi istana-istana impian.
Di atas panggung kecil bernama ranjang, ia takkan pernah kehabisan bahan baku. Benang-benang kisahnya sendiri di masa muda, cerita dongeng dari buku usang, bahkan guratan khawatir di keningku pun ia masukkan ke dalam ranjang mimpinya.
Malam itu, bau kemenyan dan temaram lampu minyak menerangi ruang kami. Ibu duduk bersila, tangannya cekatan membentuk gundukan kapas menjadi bukit lembut. "Mau mimpi apa malam ini, nak?" suaranya yang berdebu waktu terdengar lembut, mencairkan hawa dingin bulan purnama.
"Ibu, aku ingin terbang tinggi, di atas pohon kelapa tertinggi," kataku sambil meringkuk kedinginan.
Ibu tersenyum, giginya yang beberapa ompong berkilau. "Baiklah." Jemarinya menari, menambahkan sayap-sayap dari kapas tipis ke punggung bukit dan ekor komet dari benang perak ke puncaknya.
Dengan mantra bisikan doa, ia meniupkan kehidupan ke istana kecil itu. Bukit kapas berguncang, terangkat pelan, menjadi gajah terbang yang menerjang langit. Aku mencengkeram guling, jantung berdebar kencang saat gajah mengayuh awan, melintasi bulan yang tersenyum.
Di punggung gajah, Ibu mendongeng tentang negeri para bintang, tentang pelangi yang ditiup angin, dan tentang pohon-pohon raksasa yang bernapas kabut. Mimpi itu terasa nyata, angin dingin di pipiku seolah angin langit, bukan angin malam.
Pagi datang, dan aku terbangun di ranjang yang sudah rapi. Gajah kapas teronggok di pojok, sayapnya melorot, tapi senyumku tak kunjung pudar. Mimpi Ibu bukan sekadar mimpi, tapi petualangan yang nyata tersimpan dalam jiwaku.
Seiring waktu, gajah kapas itu diganti istana es, kuda pelangi, bahkan roket ke angkasa. Setiap malam, Ibu menenun mimpi dari bantal kapas, membebaskanku bertualang ke segala penjuru imajinasi.
Hari ini, aku sudah besar, mimpi-mimpi Ibu bermetamorfosis menjadi cita-cita nyata. Kuliah di negeri nun jauh, menapaki langit seperti gajah kapasku dulu. Tapi setiap malam, sebelum memejamkan mata, aku teringat pada ranjang kecil dan tangan berdebu Ibu, sang penenun mimpi terhebat.