Aroma kunyit menyergap lembut, berpadu dengan harum bawang merah dan kemiri yang disangrai. Dapur rumah kami semburat asap tipis, seperti kabut pagi yang menyelimuti sawah di belakang rumah. Di antara kepulan asap itu, Ibu bergerak lincah. Tangannya yang cekatan menumbuk bumbu, memecah telur, dan mengaduk adonan dengan penuh perasaan.
Aku tak pernah bosan memperhatikannya. Ada kemesraan tersendiri dalam cara Ibu memasak. Setiap bunyi dentingan wajan, gesekan spatula, dan desisan minyak panas seolah berirama dengan detak jantungku. Masakan Ibu memang sederhana, kebanyakan terbuat dari hasil kebun sendiri, tapi rasanya tak pernah ada duanya. Ada cinta yang tertuang dalam setiap kunyit yang diiris, dalam setiap cabe yang dicincang, dalam setiap air mata bawang yang menetes.
Setiap kali aku pulang kerja, lelah seberat apapun, aroma rempah dari dapur rumah Ibu bisa langsung mengusir lelahku. Suapan pertama masakannya seperti pelukan hangat, menghapus segala penat dan duka. Ibu tak akan pernah bertanya bagaimana harimu, tapi sejumput nasi dan lauk pauk yang disodorkannya sudah mewakili sejuta pertanyaan dan sejuta jawaban.
Suatu hari, aku pulang larut sekali. Hujan deras dan macet yang parah membuat perjalananku terhambat. Ketika sampai, dapur sudah dingin dan rumah gelap. Aku khawatir Ibu sudah tidur, tapi saat melangkah ke ruang makan, mataku menangkap cahaya remang dari lampu minyak di atas meja. Di atas meja ada secangkir teh hangat dan sebungkus nasi beserta lauk favoritku.
Aku terisak, dipeluk oleh malam yang dingin dan rasa bersalah. Betapa egoisnya aku, hanya memikirkan diri sendiri tanpa menyadari pengorbanan Ibu. Beliau pasti menungguku seharian, menahan lapar, hanya agar aku bisa makan makanan hangat sebelum tidur.
Malam itu, aku berjanji pada diri sendiri untuk lebih peka terhadap Ibu. Akan kubantu di dapur, belajar masak darinya, dan lebih sering bercerita padanya. Aku ingin aroma rempah masakan Ibu tak hanya sekadar mengusir lelah, tapi juga menjadi wujud cintaku yang terwujud nyata, semurni dan setulus cinta Ibu kepadaku.
Ya, aroma rempah masakan Ibu adalah aroma cinta. Cinta yang sederhana, kuat, dan tak lekang oleh waktu. Dan aku bersyukur, bisa dihujani cinta itu setiap hari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H