Lihat ke Halaman Asli

Sendi Suwantoro

Ketua SEMA FTIK IAIN Ponorogo 2023/2024

Mentari di Balik Bukit Batu

Diperbarui: 27 Desember 2023   23:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160809091910-20-150085/full-day-school-belum-merangkul-siswa-di-daerah-pelosok

Sinar mentari pagi mengintip malu-malu di balik bukit batu, menembus dedaunan kering dan menerpa wajah Maya yang tengah duduk bersila di atas sebongkah batu besar. Udara dingin pegunungan menusuk kulitnya, namun tak cukup untuk mengusik konsentrasinya. Di tangannya, sebuah buku tulis lusuh berisi coretan-coretan huruf dan angka menjadi pegangannya. 

Kampung Cadas Wangi, tempat Maya tinggal, terletak terpencil di balik barisan perbukitan terjal. Jalanan setapak berbatu adalah akses utama mereka, dan pendidikan formal hanyalah cerita yang jauh disampa. Tak ada sekolah di kampung ini, tak ada gedung megah berdinding semen atau papan tulis hijau. Yang ada hanya alam yang keras dan kemiskinan yang merajalela.

Sejak kecil, Maya memendam mimpi untuk bisa membaca dan menulis. Mimpi yang dipicu oleh cerita-cerita kakeknya tentang dunia luar yang penuh warna, tentang ilmu pengetahuan yang luas, dan tentang keajaiban membaca yang bisa membuka pintu wawasan. Mimpi yang semakin kuat ketika ia menemukan buku-buku bekas milik pedagang keliling yang tersesat di desanya.

Buku-buku itu menjadi harta karun bagi Maya. Ia habiskan waktunya di bawah rimbun pohon beringin, berteman semut dan kupu-kupu, dengan setia melahap huruf demi huruf, kata demi kata. Ia tak mengerti semuanya, tapi ada semangat juang yang berkobar dalam dirinya. Ia ingin menaklukkan ketidaktahuan, ia ingin menerangi desanya dengan cahaya ilmu.

Perjuangan Maya tak mudah. Seringkali ia ditertawakan teman-teman sebayanya yang lebih memilih bermain kejar-kejaran di sawah. Orang tuanya pun tak habis pikir melihat tingkah laku anaknya yang lebih senang berteman buku daripada ikut membantu di ladang. Tapi Maya tak peduli. Ia tahu, pendidikan adalah jalan keluar dari belenggu kemiskinan dan keterbelakangan.

Suatu hari, seorang mahasiswa dari kota datang ke desa mereka untuk melakukan penelitian. Tak sengaja, ia melihat Maya sedang asyik membaca buku di bawah pohon beringin. Terpesona dengan kegigihan Maya, mahasiswa itu menawarkan diri untuk mengajari Maya membaca dan menulis dengan lebih baik.

Berita itu menyebar bagai api. Seketika, gubuk reyot milik Maya disulap menjadi "sekolah" dadakan. Anak-anak kampung berdatangan dengan mata penasaran, dan Maya, dengan sukarela, berbagi ilmunya. Ia tak hanya mengajari mereka membaca dan menulis, tapi juga bercerita tentang hal-hal baru yang ia baca dari buku-bukunya.

Seiring berjalannya waktu, "sekolah" Maya semakin ramai. Orang tua yang tadinya tak mengerti, mulai menyadari pentingnya pendidikan. Mereka mulai mendukung anak-anaknya untuk belajar, meski dengan keterbatasan yang ada.

Mentari kian tinggi, sinarnya menghangatkan punggung Maya yang tak henti menulis di buku tulisnya. Di kejauhan, suara anak-anak kampung terdengar riang, bersahut-sahutan membaca alfabet. Mata Maya berkaca-kaca. Ia melihat secercah harapan di balik bukit batu, melihat mimpi pendidikan yang perlahan mulai mekar di tanah tandus Kampung Cadas Wangi.

Cerita Maya adalah kisah tentang kegigihan dan semangat belajar yang tak bisa dipadamkan oleh keadaan. Di balik keterbatasan, selalu ada celah untuk meraih mimpi. Dan pendidikan, meski tertindas, akan selalu menemukan jalan untuk bersinar.

Catatan

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline