Matahari belum sepenuhnya mencium puncak bukit ketika Dara sudah melusungi jalan setapak berbatu. Embun pagi membasahi ujung jilbabnya, namun tak sedikitpun mengendurkan semangatnya. Di ufuk timur, semburat merah jambu mulai mengusir gelap, memberi harapan pada langkah kecilnya.
Dara tinggal di sebuah dusun terpencil, di mana rumah-rumah panggung sederhana berjajar rapi di antara rerimbun pohon bambu. Sekolah terdekat berjarak dua bukit dari dusunnya, dan Dara harus menempuh jalan setapak itu setiap hari untuk menuntut ilmu.
Sekolah Dara sendiri tak kalah sederhana. Terbuat dari anyaman bambu dan beratapkan daun kelapa, sekolah kecil itu hanya memiliki satu ruangan untuk tiga tingkatan kelas. Pak Darno, sang guru tunggal, sudah mengabdikan dirinya bertahun-tahun untuk mencerdaskan anak-anak dusun, termasuk Dara.
Meskipun sederhana, ruang belajar itu selalu riuh rendah dengan semangat belajar. Pak Darno mengajar dengan sepenuh hati, menggunakan segala kreativitasnya untuk membuat pelajaran menarik. Batu-batu sungai menjadi alat hitung, ranting pohon jadi media menulis, dan nyanyian burung sebagai penanda waktu istirahat.
Dara adalah murid yang paling rajin. Ia duduk di kursi paling depan, tak pernah melewatkan satu pun pelajaran. Setiap hari, ia berlari kencang pulang-pergi sekolah, tak ingin ketinggalan kesempatan untuk menggali ilmu.
Suatu hari, saat hujan deras mengguyur dusun, sekolah kecil mereka ambruk. Atap daun kelapa tak kuasa menahan terjangan air, dan ruangan dipenuhi reruntuhan bambu. Mimpi untuk belajar pun seolah ikut ambruk bersama sekolah mereka.
Dara sedih, namun tak larut dalam kesedihan. Ia berkumpul bersama teman-teman dan Pak Darno. Mereka sepakat untuk membangun kembali sekolahnya, meski hanya dengan tangan kosong.
Hari demi hari, mereka mengumpulkan bambu dan daun kelapa. Anak-anak bergotong royong membersihkan puing, sementara Pak Darno dan orang tua murid memperbaiki atap dan dinding. Dara tak ikut memikul bambu, tapi ia menjadi penyemangat yang tak pernah padam. Ia bernyanyi dan bercerita, mengisi hari-hari berat dengan tawa dan canda.
Akhirnya, setelah berminggu-minggu bekerja keras, sekolah kecil mereka kembali berdiri. Tak lagi kokoh seperti sebelumnya, namun cukup untuk melindungi mereka dari panas dan hujan. Di bawah atap daun kelapa yang rapi, nyanyian burung kembali terdengar, menandakan dimulainya kembali proses belajar mengajar.
Dara menatap ruang belajar mereka dengan mata berkaca-kaca. Sekolah bambu itu tak hanya sekadar tempat menimba ilmu, tapi juga bukti kegigihan dan kebersamaan. Dara berjanji pada dirinya sendiri, ia akan belajar lebih giat lagi, demi membalas jasa Pak Darno, teman-teman, dan dusunnya yang telah menanamkan semangat belajar di hatinya.
Cerita Dara dan sekolah bambu mereka adalah pengingat bahwa pendidikan tak melulu soal gedung megah dan fasilitas mewah. Yang terpenting adalah semangat belajar yang tak pernah padam, dan keinginan untuk berbagi ilmu yang tak kenal batas. Di bilik bambu sederhana itu, kuncup-kuncup ilmu terus mekar, diterpa angin tekad dan disinari cahaya harapan.