Realita Bahasa Daerah
Bahasa merupakan alat komunikasi. Dalam kehidupan sehari-hari manusia pada hakikatnya makhluk sosial saling berkomunikasi yang intinya yaitu untuk menyampaikan pikiran (thoughts), perasaan (feelings) dan kebutuhan (needs). Bahasa juga merupakan seperangkat keterampilan yang harus senantiasa di asa dan dilatih (Handoko S.: 2010, 4, 6).
Harian Media Indonesia edisi 8 Juli 2010 melaporkan bahwa hasil penelitian Pusat Kementrian Pendidikan Nasional menunjukkan sedikitnya 150 bahasa daerah di tanah air terancam punah. Diperkirakan 90 persen dari 746 bahasa daerah yang tersebar di 34 provinsi akan mengalami kepunahan di akhir abad dua puluh satu nanti. Prediksi ini berdasarkan penelitian sebuah lembaga kajian bahasa Internasional yang menyebutkan 90 persen dari 6.500 bahasa di dunia terancam akan hilang (Panjaitan: 2013, 16-17).
Lebih lanjut, UNESCO sebuah badan di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di tahun 2015 yang lalu merilis sebuah pernyataan yang menyentak tentang bahasa daerah. Menurut perkiraan UNESCO bahwa setelah tiga generasi, (satu generasi dihitung 25 tahun), maka pada tahun 2090, sembilan puluh persen bahasa daerah yang ada di dunia akan punah.
Generasi pertama 2015-2040, orang tua masih bisa dan mengerti bahasa daerah. Anaknya masih bisa dan mengerti. Lalu, generasi kedua, 2040-2065, si anak generasi pertama menjadi orang tua di generasi kedua, masih bisa mengerti. Anaknya bisa mengerti tapi tidak bisa lagi berbahasa daerah. Kemudian, generasi ketiga, 2065-2090, si anak di generasi kedua menjadi orang tua di generasi ketiga, masih mengerti tapi tidak bisa lagi berbahasa daerah. Anaknya tidak mengerti lagi bahasa daerahnya dan tidak bisa berbahasa daerah. Maka punahlah bahasa daerah itu.
Demikian gambaran dari perkiraan dari UNESCO tersebut. Sejak itulah kesadaran untuk menyelamatkan berbahasa daerah dimulai. UNESCO juga menetapkan 21 Februari sebagai hari Bahasa Ibu Internasional. Pada hari itu diharapkan setiap insan di dunia mengingat bahasa ibunya. Dengan demikian upaya penyelamatan bahasa daerah yang merupakan bahasa ibu bisa diselamatkan (Siringoringo, https://www.kompasiana.com/aldentua/60273428d541df07725c3c52/bagaimana-mewujudkan-musik-etnik-menjadi-tuan-rumah-di-negeri-sendiri, (dikunjungi 13 Februari 2021).
Bahasa Daerah Terancam Punah
Dilansir oleh situs BBC, UNESCO mengatakan bahwa lebih dari sepertiga bahasa di dunia terancam punah dan di antaranya dipakai oleh kelompok kecil penutur. Dari sekitar 2.000 bahasa tersebut, menurut UNESCO, sekitar 200 dipakai oleh sekelompok kecil penutur. Bahasa Lampung yang merupakan bahasa daerah dari Provinsi Lampung adalah salah satunya. Bahasa Lampung memiliki banyak ragam dialeg dan aksara (huruf) sendiri (Rianto: 2019, 219).
Selain Bahasa Lampung, Bahasa Batak juga terancam kepunahannya. Kepunahan itu diawali dengan banyaknya kosa kata yang hilang dari penuturan sehari-hari dan semakin banyak bahasa lain yang terintegrasi dalam bahasa sehari-hari hingga saat ini. Kejadian ini diawali dengan semakin meningkatnya peradaban modern dan pola pergaulan yang memungkinkan semakin banyaknya melakukan komunikasi dengan bahasa nasional. Di samping itu pula, kearifan budaya Batak yang semakin ditinggalkan, baik dalam kehidupan sehari-hari pemilik bahasa itu sendiri. Didukung dengan hilangnya kurikulum pendidikan yang mewajibkan pelajaran budi pekerti dan buku bacaan bahasa daerah. (Panjaitan: 2013, 18).
Bahasa Batak sebagai "bahasa ibu", agaknya begitu penting di dalam kehidupan habatahonta. Bahasa Batak juga menjadi suatu kekayaan bagi bangsa Indonesia yang harus dipertahankan, dikembangkan dan juga dilestarikan. Sebab, sudah semakin banyak bahasa daerah yang hampir punah di dunia ini (Laoly dalam Silaban: 2016, 16). Semoga jangan sampai terjadi demikian di bahasa Batak kita. Demikianlah, kita juga harus memberikan usaha yang berkenaan dengan hal itu.
Monang Naipospos menjelaskan lebih lanjut bahwa minat pemilik bahasa dari kalangan intelektual pun tidak memiliki kepedulian pemeliharaan bahasa. Ini terlihat bila orang Batak tinggal di perkotaan, anak-anaknya tidak ada lagi yang menggunakan bahasa ibu. Bila generasi seperti ini sudah mulai terbentuk sejak kemerdekaan Indonesia, bisa diperkirakan seberapa banyak generasi batak Toba yang berkembang populasinya di daerah perkotaan, dan sebesar itu pula gelombang penghancur bahasa tersebut.