"Kecelakaan kadang membawa berkah," blessing in disguise, demikian istilah Inggris. Inilah yang terjadi dalam kelas Kursus Filsafat untuk dosen-dosen UKSW Batch-1 tahun 2019/2020.
Dari enam tema bahasan, yang hampir semua pengajarnya dari STF Driyakara Jakarta, ternyata di kelas Filsafat Teknologi yang direncanakan diajar Dr. Karlina Supelli, ketika tiba waktunya ternyata beliau berhalangan karena alasan kesehatan. Padahal, ini kelas terakhir yang sudah pernah ditunda.
Dua minggu sebelumnya, karena komunikasi kurang lancar saya sudah mengantisipasi keadaan. Lalu, memulai melanjutkan sebuah tulisan tentang Filsafat Teknologi yang sedianya dibuat untuk mahasiswa kelas Filsafat di FTI-UKSW tahun 2017/2018. Itu seolah terpaksa 'memantaskan saya' mengajarkannya di kelas dosen. Berikut ulasan ringkasnya.
Prinsipnya, Filsafat Teknologi (FT) mencoba menelaah hakikat teknologi, tidak semata-mata sebagai alat, bentuk fisik, fungsi atau pun berdasarkan dampak moral-etisnya. Biasanya ada dua pendekatan umum, yaitu memahami teknologi secara instrumentalis dan antropologis.
Pendekatan instrumentalis memahami teknologi semata-mata sebagai alat bantu yang memfasilitasi manusia menjawab kebutuhan-kebutuhannya. Sementara, pendekatan antropologis mendekati teknologi dari sisi hakikat manusianya.
Jadi, esensi teknologi itu sendiri justru luput dari telaahan. Maka, muncul pendekatan lainnya dari filsuf Jerman, Martin Heidegger, yang mendekati teknologi dari dimensi ontologis-nya. Ini dikenal juga sebagai pendekatan substantif.
FT meneropong teknologi dari sisi esensi teknologi itu sendiri, dari kodrat atau vitur-vitur khasnya, dari apa yang melekat padanya, dan terhadap apa teknologi yang macam begitu tergantung. Mengingat teknologi berkembang sedemikian pesat, bentuk-bentuk dan fungsinya memukau sedemikian rupa, maka penelaahannya pun menuntut pendekatan yang tidak tunggal.
Meskipun demikian, penelaahan tetap membutuhkan persepktif (point of view) agar menunjukkan posisi penelaah, bagaimana caranya atau dari titik bidik (angel) mana ia memotret dan memahami teknologi, sambil secara jujur dan rendah hati mempertimbangkan perspektif lainnya secara fair-ness.
Melalui kaca mata filosofis Heidegger kita bisa pahami bahwa perkembangan teknologi, secanggih apa pun, seharusnya tidak patut dikhawatirkan. Kekhawatiran kerap muncul karena dengan pendekatan lainnya, teknologi dipahami dalam makna yang telah telanjur berbingkai kepentingan, termasuk oleh budaya, politik, kekuasaan, ekonomi dan sebagainya. Akibat pembingkaian itu, manusia sendiri ketaktuan oleh bingkai yang dilekatkannya pada teknologi itu sendiri.
Kecanggihan AI, algoritma, big data, realitas virtual misalnya, seolah membawa manusia kepada pemahaman diri yang ambigu. Makna mengada manusia terlempar dalam situasi multi-instabilitas: ada di sini tetapi juga ada disana, dan tidak kokoh lagi mencengkram dunia konkrit, dalam ungkapan seorang cyber philosopher, Hubert Dreyfus.
Fungsi terbingkai teknologi membawa manusia "melampaui realitas," dan bahayanya lalu cenderung terjebak memuliakan teknologi sebagai personalitas anonim yang superior. Ini pembingkaian yang makin canggih.