"What appears to you to be true
is true for you,
And what appears to me to be true
is true for me."
-Protagoras-
Sedikitnya lima tahun terakhir kita merasakan sesak-napas akibat pekatnya polusi wacana di langit politik nasional. Kebohongan demi kebohongan diubar ke ruang publik tanpa malu, tidak saja oleh orang-orang awan tak terdidik, melainkan oleh para elit, bahkan yang menyandang titel akademik prestisius. Ironis! Tindakan-tindakan yang sungguh menghina nalar dan intelektualitas.
Menarik juga mengamati, bahwa untuk pertamakalinya menyongsong sebuah even pilpres 2019, alumni dari berbagai kampus ternama mendeklarasikan dukungan terbuka kepada pasangan calpres.
Bisa jadi, fenomena ini menjadi bukti betapa kaum intelek telah tak bisa menahan diri dan terganggu oleh permainan wacana yang membahayakan tatanan moral dan standar-standar kebenaran yang menjadi kultur akademik. Gejala merebaknya kebohongan dan penyesatan nalar dalam dunia filsafat dikenal sebagai sikap sofistik, merujuk sekelompok filsuf Yunani Antik yang menamai diri sofis.
Sofis merupakan kaum cendekiawan profesional yang lahir saat kuncup kembang demokrasi Athena sedang mekar-mekarnya. Sekitar abad ke-5 SM (Sebelum Masehi), didahului kemenangan besar Athena dalam perang melawan Persia tahun 449 SM, serta kemenangan atas kerajaan sekitar menyebabkan banyaknya upeti (pajak) mengalir ke Athena sehingga syarat kesejahteraan dan kemakmuran rakyat terpenuhi. Kondisi ini memungkinkan konsentrasi pada tatanan hidup bersama di polis lebih memadai dan menjadi prioritas.
Boleh dikatakan, kaum sofis adalah pemikir awal dalam sejarah filsafat, terutama yang berkaitan dengan manusia dan kehidupan bersama (politik dan negara). Kelompok yang menyebut diri sebagai pengajar kebijaksanaan itu, sebagaimana arti dari nama itu (sofis), hadir sebagai kebutuhan zaman dalam konteks perkembangan politik-demokratik Athena. Dalam pratik demokrasi purba itu, sebagian besar keputusan yang menyangkut kehidupan bersama (politik) diambil berdasarkan pemungutan suara. Praktik kepengacaraan (hukum) dan keputusan-keputusan pengadilan juga ditentukan oleh dukungan suara terbanyak para juri.
Dengan demikian, iklim demokrasi membutuhkan topangan rakyat yang cerdas, terutama dalam hal beretorika dan berorasi secara persuasif untuk meyakinkan dan memenangkan dukungan massa sebagai voter. Dalam kondisi demikianlah, kaum sofis menemukan 'segmentasi pasar' untuk menjajakan ilmu dan keterampilannya, yaitu dalam hal debat dan retorika.